Ushul Fiqh dan
Tipologi Penelitian Hukum Islam
A. Pendahuluan
Kita yang terlahir sebagai makhluk
sosial yang mana tidak dapat hidup sendiri pastilah selalu mengalami interaksi
antara satu sama lain. Didalam interaksi inilah kita sering mengalami ketidak
sesuain atau gap yang pada akhirnya timbul perselisihan yang membutuhkan sebuah
penyelesaian. Apalagi kita hidup di Negara hukum pastilah didalamnya kita
sering kali menjumpai peraturan – peraturan yang mengatur pergaulan hidup
bermasyarakat.
Seperti halnya Indonesia yaitu Negara
yang berdasarkan hukum. Hukum disini akan berlaku kalau didukung oleh tiga
aspek; yaitu pertama aspek lembaga pelaksana hukum yang dapat diandalkan, kedua
aspek peraturan hukum yang jelas, dan ketiga aspek kesadaran hukum oleh
masyarakat. Disini untuk suksesnya pelaksanaan hukum Islam yang sangat
dibutuhkan sekarang adalah faktor yang ketiga, yaitu kesadaran hukum yang
tinggi dari masyarakat muslim. Tanpa ini, hukum Islam rasanya sulit untuk
ditegakkan ditengah – tengah masyarakat.
Sejak periode awal sejarah perkembangan
Islam, perilaku kehidupan kaum muslim dalam keseluruhan aspeknya telah diatur
oleh hukum Islam. Hukum Islam adalah representasi pemikiran Islam, manifestasi
yang paling khas dari pandangan hidup Islam, intisari dari Islam itu sendiri.
Sehingga seorang sarjana barat, Joseph scacht sampai pada suatu kesimpulan;”
bahwa tidak mungkin untuk memahami Islam tanpa memahami hukum Islam”.[1]
Sebelum hukum Islam tersebut dapat
dipahami pastinya terlebih dahulu telah digali dan dirumuskan sebuah produk
hukum. Didalam menggali dan merumuskan produk hukum tersebut terdapat berbagai
bentuk dan model sehingga menghasilkan sebuah produk hukum yang nantinya
diterapkan dalam kehidupan masyarakat muslim, maka dari itu disini penulis akan
mencoba menguraikan tentang bagaimana bentuk – bentuk penelitian hukum tersebut
yang telah menghasilkan sebuah produk hukum yang mengatur kehidupan masyarakat
muslim selama ini
B. Ushul Fiqh
Dalam
perjalanan sejarah ilmu ini, ar-Risalah karya asy-Syafi’i dianggap buku
rintisan pertama tentang ilmu ini. Ar-Risalah yang penulisannya bercorak
teologi-deduktif itu kemudian diikuti oleh para ahli Ushul madzhab mutakallimun
(Syafi’iyah, Malikiyah, Hanabilah, dan Mu’tazilah). Sementara itu ulama
Hanafiyah memiliki cara penulisan tersendiri yang bercorak induktif-analitis.
Baik ar-Risalah, buku-buku Ushul madhzhab mutakallimun, maupun madzhab
Hanafiyah memiliki kesamaan paradigma, yaitu paradigma literalistic dalam arti
begitu dominannya pembahasan teks, dalam hal ini teks berbahasa Arab, baik dari
segi tatabahasa maupun sintaksisnya dan mengabaikan pembahasan tentang maksud
dasar dari wahyu yang ada dibalik teks literal. Paradigma ini berlangsung
selama kurang lebih lima abad (dari abad ke 2H sampai abad ke-7H) dan baru
mengalami perbaikan dengan munculnya asy-Syatibi (w. 790/1388) pada abad ke 8H
yang menambahkan teori maqashid asy-syari’ah yang mengacu pada maksud
Allah yang paling dasar sebagai pembuat hukum (syari’, lawgiver).[2]
Dengan demikian, ilmu Ushul Fiqih tidak lagi hanya terpaku pada literalisme
teks. Kehadiran asy-Syatibi sama sekali tidak menghapus paradigma literal, tapi
hanya ingin lebih melengkapinya agar ilmu ini dapat lebih sempurna memahami
perintah Allah. Dengan demikian, dalam perspektif filsafat ilmu, asy-Syatibi
sebenarnya tidak melakukan apa yang menurut Thomas Kuhn disebut dengan
pergeseran paradigma (paradigm shift), tapi lebih hanya melengkapi
paradigma lama saja, agar tidak terlalu literalistic. Asy-Syatibi dalam
perspektif Kuhn, sesungguhnya tidak melakukan perubahan revolusioner pada
bangunan ilmu Ushul Fiqh.[3]
Enam abad
kemudian, sumbangan asy-Syatibi pada abad ke-8H/ 14M itu, direvitalisasikan
oleh para pembaharu Ushul Fiqh di dunia modern, seperti Muhammad Abduh (w.
1905), Rasyid Ridha (w. 1935), Abdul Wahhab Khallaf (w. 1956). Karena tidak
menawarkan teori baru kecuali merevitalisasi prinsip mashlahah yang ditawarkan
asy-Syatibi melalui teori maqashidnya itu, maka Wael B. Hallaq
mengkategorikan para pembaru penganut aliran unilitarianisme.[4]
Sementara itu,
pertanyaan tentang bagaimanakah teks suci dapat dipahami dan kemudian
dijalankan dalam konteks dunia modern yang sudah barang tentu tidak lagi sama
dengan konteks zaman Nabi, hal ini masih menjadi agenda besar bagi umat Islam
dewasa ini. Pertanyaan ini menurut sebagian pakar seperti Muhammad Iqbal,
Mahmud Muhammad Taha, Abdullahi Ahmed an-Naim, Fazlur Rahman, dan Muhammad
Syahrur sama sekali tidak dapat diselesaikan dengan berpijak pada prinsip
mashlahah klasik di atas. Bahkan mereka beranggapan bahwa prinsip mashlahah
tidak lagi memadai untuk membuat hukum Islam mampu hidup di dunia modern.
Dengan mengambil sample tiga orang pemikir (Asymawi, Fazlur Rahman, dan
Syahrur), Hallaq menamakan kelompok ini dengan aliran liberalisme keagamaan (religious
liberalism),[5]
karena coraknya yang liberal dan cenderung membuang teori-teori Ushul Fiqh
lama. Menurut Hallaq upaya pembaharuan di bidang Ushul dari kelompok kedua ini
dianggapnya lebih menjanjikan dan lebi persuasive. Kelompok kedua ini dalam
rangka membangun metodologinya yang ingin menghubungkan antara teks suci dan
realitas dunia modern lebih berpijak pada upaya melewati makna ekplisit teks
untuk menangkap jiwa dan maksud luas dari teks.[6]
Sedangkan
definisi Ushul fiqh sebagai suatu bidang ilmu yang berdiri sendiri mempunyai
pengertian sebagai berikut: pertama, terminology ushul fiqh yang
dikemukakan oleh ulama Syafi’iyyah, yaitu “mengetahui dalil-dalil fiqh secara
global, cara penggunaan dalil-dalil tersebut, dan mengetahui keadaan orang yang
menggunakannya”. Kedua, terminology ushul fiqh yang dikemukakan oleh
jumhur ulama ushul ( Hanafiah, Malikiah, dan Hanabilah ), yaitu “mengetahui
kaidah-kaidah umum yang dapat digunakan untuk mengistinbatkan hukum-hukum
syara’ yang bersifat amaliah melalui dalil - dalilnya yang terperinci”.[7]
Jumhur ulama
sepakat bahwa obyek kajian ilmu ushul fiqh adalah kaidah - kaidah atau metode
istinbat hukum. Kaidah - kaidah itu biasanya disebut dengan dalil-dalil syara’
yang umum ( al-adillah al-syar’iyyah al-kulliyyah ). Kemudian yang
termasuk al-adillah al-syar’iyyah al-kulliyyah diantaranya adalah:
kaidah-kaidah bahasa yang dijadikan petunjuk oleh ahli fiqh untuk menetapkan
hukum-hukum syara’ dari nash, kaidah-kaidah qiyas dan kehujjahannya,
batasan-batasan umum, perintah (amr) dan indikatornya, kaidah-kaidah
larangan (nahy), kaidah mutlak, muqayyad dan umum. Jadi dengan kata
lain, obyek pembahasan ushul fiqh bermuara pada hukum syara’ (al-hukm
al-syar’i) ditinjau dari hakekat, kriteria, dan macam-macamnya, pembuat
hukum (al-hakm) dari segi dalil dan perintahnya, orang yang dibebani
hukum (al-mahkum ‘alayh) dan cara berijtihadnya.[8]
Al-Ghazali memerincinya menjadi empat hal utama: Pertama, buah ilmu
ushul fiqh ini (al-tsamrah) yang meliputi hukum-hukum dan yang berkaitan
dengannya. Kedua, pemberi buah ( al-mutsmirah ) yang meliputi
dalil - dalil umum, seperti: al-Qur’an, al-Sunnah, ijma’, dan qiyas. Ketiga,
metode pengambilan buah ( thuruq al-ististsmar ) yang meliputi
metode kebahasaan dan metode kemaknaan. Keempat, pengambil buah ( al-mustatsmir
) yang meliputi criteria orang yang berhak disebut mujtahid.[9]
Dengan demikian
jelas bahwa yang digunakan dalam ushul fiqh adalah epistemology bayani.
Artinya penggalian pengetahuan - pengetahuan ushul fiqh bersumber pada otoritas
teks al-Qur’an dan al-Hadits. Paling tidak, ada dua cara bagaimana ushul fiqh
mendapatkan pengetahuan dari teks; pertama, pengetahuan yang didasarkan
pada teks zhahir syara’ (zhahir alfazh al-syari’ah). Kecenderungan
tekstualitas ini terjadi sebelum masa ibn Rusyd, atau berawal pada masa
al-Syafi’i, dan mencapai puncaknya pada masa Ibn Hazm al-Zhahiri. Bagi aliran
tekstualitas murni ini, seorang mujtahid dalam beristinbat maupun istidlal
hukum harus berpegang pada dhahirnya teks. Kedua, pengetahuan yang
didasarkan pada maksud teks syara’ ( maqasid alfazh al-syariah ).
Artinya ketika makna dari teks dhahir tidak mampu menjawab permasalahan, baru
kemudian digunakan maksud teks syari’ah. Kecenderungan ini dimulai pada masa
Ibn Rusyd sampai al-Syatibi.[10]
Selanjutnya,
berkaitan dengan ilmu ushul fiqh, maka aksiologi atau fungsinya adalah untuk
membimbing manusia dalam menangkap maksud Tuhan secara benar. Artinya dengan
mempelajari kaidah dan teori usul ( al-qawa’id al-ushuliyah ), seseorang
dapat menangkap makna yang terkandung dalam teks-teks al-Qur’an dan al-Sunnah,
sehingga selaras dengan yang dikehendaki oleh Tuhan.
Sedangkan
perbedaan ushul Fiqih dengan fiqih, bahwa usul fiqih merupakan timbangan atau
ketentuan untuk istinbat hukum dan objeknya selalu dalil hukum, sementara objek
fiqih adalah perbuatan mukallaf yang diberi status hukumnya. Walaupun ada titik
kesamaan, yaitu keduanya merujuk pada dalil, namun konsentrasinya berbeda,
yaitu ushul fiqh memandang dalil dari sisi cara penunjukan atas suatu ketentuan
hukum, sedangkan fiqih memandang dalil hanya sebagai rujukannya.[11]
C. Hukum Islam dalam Tinjauan Ilmu: Definisi dan Obyek Kajian.
Sebelum
menjelaskan obyek kajian ilmu syariah (ilmu hukum Islam), perlu dijelaskan
batasan pengertian syariah itu sendiri. Syari’ah sendiri didefinisikan mencakup
baik tindak tanduk hati maupun tindakan-tindakan lahiriah yang nyata terlihat.
Sesungguhnya ini adalah panduan perintah-perintah Tuhan kepada manusia, yaitu
perintah-perintah yang jelas terutama bersifat moral. Jadi Syari’ah bukan
sekedar peraturan tata cara perilaku formal yang khusus dan utama, tetapi ia
sejalan dan sama luasnya (coterminous) dengan ”kebaikan” itu sendiri.
Tetapi anehnya sedikit sekali usaha yang dilakukan untuk memikirkan dan
merumuskan kembali batang tubuh fiqh yang utuh, sebagaimana dulu pernah
dilakukan oleh tokoh-tokoh keempat aliran hukum. Alasan utama untuk ini
tampaknya adalah bahwa hukum ini dipandang sebagai sesuatu yang semestinya
muncul dari prinsip-prinsip Qur’an dan Sunnah dan selanjutnya disucikan oleh
ijma’. Padahal ijma’, seperti telah kami nyatakan telah dianggap final, pintu
ijtihad (pemikiran orisinal) telah ditutup, dan akibatnya tak seorang
pemikirpun, sehebat apapun dia, yang berani mencoba-coba untuk membukanya.[12]
Hukum Islam
mencakup berbagai dimensi. Dimensi abstrak, dalam wujud segala perintah dan
larangan Allah dan Rasul-Nya; dan dimensi konkret, dalam wujud perilaku mempola
yang bersifat ajeg di kalangan orang Islam sebagai upaya untuk melaksanakan
titah Allah dan Rasul-Nya itu. Lebih konkret lagi, dalam wujud perilaku manusia
(amaliah), baik individual maupun kolektif. Hukum Islam juga mencakup substansi
yang terinternalisasi ke dalam berbagai pranata sosial. [13]
Manakala
membicarakan hukum Islam, apakah yang dimaksud syari’at Islam atau fiqh Islam?
Syari’at Islam adalah hukum Islam yang berlaku abadi sepanjang masa. Sedangkan
fiqh adalah perumusan konkret syari’at Islam untuk diterapkan pada suatu kasus
tertentu di suatu tempat dan di suatu masa. Keduanya dapat dibedakan tetapi
tidak dapat dipisahkan.
Fiqh juga diidentifikasi
sebagai salah satu dimensi hukum Islam, yakni produk penalaran fuqaha terhadap
syari’ah, yang secara empiris dijadikan hukum terapan oleh Muslim di berbagai
kawasan. Hukum Islam mempunyai fungsi yang ganda, yaitu fungsi syari’ah dan fungsi
fiqh. Syari’ah merupakan fungsi kelembagaan yang diperintahkan Allah untuk
dipatuhi sepenuhnya, atau saripati petunjuk Allah untuk perseorangan dalam
mengatur hubungannya dengan Allah, sesama Muslim, sesama manusia, dan dengan
semua makhluk di dunia ini. Sedangkan fiqh merupakan produk daya pikir manusia.
Fiqh merupakan usaha manusia yang dengan daya intelektualnya mencoba
menafsirkan penerapan prinsip-prinsip syari’ah secara sistematis.[14]
Al-Gazzali (w.
505) dalam pendahuluan al-Mustasfa menjelaskan sisi yang menjadi
perhatian ahli hukum Islam untuk dikaji dari keseluruhan obyek kajian ilmu -
ilmu keagamaan Islam dengan mengatakan “Ahli hukum mengambil satu sisi
tertentu, yaitu tingkah laku subyek hukum, yang diselidikinya dalam kaitan
dengan dictum hukum.”
Menurut
pernyataan al Ghazali ini obyek kajian ilmu syari’ah (ilmu hukum Islam) adalah
tingkah laku dalam kaitannya dengan norma hukum. Konsepsi ini berbeda dengan
pengertian yang lazim dalam hukum Islam, yaitu bahwa ilmu hukum Islam ( ilmu
syari’ah ) mengkaji hukum-hukum ( norma-norma ) syariah yang disimpulkan dari
dalil - dalilnya berupa teks-teks al-Qur’an dan sunnah serta dalil - dalil
subsider lainnya. Pertanyaannya di sini: apakah sesungguhnya ilmu syariah
mengkaji norma - norma atau mengkaji tingkah laku? Dengan kata lain apakah ilmu
syari’ah adalah suatu ilmu normatif murni atau suatu ilmu perilaku? Dalam
kenyataan perkembangan ilmu syari’ah sendiri pendefinisian ilmu hukum Islam sebagai
ilmu yang menyelidiki norma-norma, dan ditunjang oleh suatu postulat yang
berasal dari system teologi tertentu bahwa hukum tidak dapat ditemukan di luar
teks-teks, telah membawa hukum Islam menjadi suatu ilmu teks, “ilmu kalam”
yaitu ilmu yang mengkaji kalam ilahi yang merupakan khitab asy-syar’. Analisis
hukum karena itu berarti analisis teks. Bagi pengkaji modern, pernyataan al-Ghazali
mungkin lebih menarik karena memberi peluang kepada pendekatan empiris dalam
kajian hukum bukan semata analisis teks ( khitab asy-syar’i ) tetapi
juga berarti analisis tingkah laku.[15]
Dengan
berdasarkan konsep al-Ghazali ini dapat dikembangkan suatu metode kajian hukum
Islam yang disebut metode sui generis-kum-empiris.
D. Tipologi Penelitian Hukum Islam
Meskipun secara
umum ushul fikih merupakan metode pengkajian Islam pada umumnya dan dalam
sejarah kebudayaan Islam inilah satu-satunya metode khas Islam yang berkembang,
namun dalam pengertian khusus, ushul fikih adalah suatu metode penemuan hukum
syari’ah. Sebagai metode penemuan hukum, ushul fikih merupakan bagian dari
metode penelitian hukum Islam secara umum.
Dengan meminjam kerangka penelitian
ilmu hukum secara umum, serta diilhami oleh definisi al Ghazali mengenai obyek
ilmu syari’ah dan tesisnya tentang pemaduan antara wahyu dan rakyu, penelitian
hukum Islam secara garis besar kiranya dapat dibedakan menjadi dua bagian;
a. Penelitian hukum Islam deskriptif (wasfi)
b. Penelitian hukum Islam preskriptif/ normatif (mi’yari).
Penelitian
hukum Islam deskriptif tidak mempertanyakan apa hukumnya, dengan kata lain
tidak mencari norma hukum terbaik yang harus dipegangi untuk diterapkan kepada
suatu kasus, melainkan mendeskripsikan fenomena hukum dengan mencari hubungan
variabel – variabel hukum dan variabel-variabel non hukum. Variabel - variabel
hukum dalam penelitian deskriptif ini dapat dilihat baik sebagai variabel
independen maupun sebagai variabel dependen. Penelitian tentang apa pengaruh
penerapan undang-undang No 1 tahun 1974 tentang perkawinan terhadap menurunnya
tingkat perceraian, misalnya, merupakan penelitian deskriptif dengan melihat
hukum sebagai variabel independen. Sebaliknya penelitian mengenai pengaruah
adat masyarakat terhadap rumusan pasal-pasal tertentu dalam kompilasi hukum
Islam di Indonesia, misalnya, merupakan penelitian hukum Islam deskriptif
dengan menempatkan hukum Islam sebagai variabel dependen. Pendekatan dalam
penelitian deskriptif ini bisa berupa antropologi, sosiologis, historis,
politik dan semacam itu.
Penelitian
hukum Islam preskriptif bertujuan menggali norma-norma hukum Islam dalam
tataran das sollen, yaitu norma-norma yang dipandang ideal untuk dapat
mengatur tingkah laku manusia dan menata kehidupan bermasyarakat yang baik. Ushul
fikih termasuk ke dalam bidang penelitian hukum Islam preskriptif, yang
bertujuan menemukan norma - norma syari’ah untuk merespon berbagai permasalahan
dari sudut pandang normatif.[16]
Dalam pandangan
yang tidak tepat dari banyak orang Muslim, dengan hukum Islam biasanya hanya
dimaksudkan kumpulan peraturan konkret berupa halal, haram, makruh, mubah, atau
sunnah saja. Bila disebut hukum Islam yang terbayang oleh mereka hanyalah
kategori - kategori tersebut. Pengertian seperti ini jelas tidak tepat, Selain
terdiri atas kategori penilaian seperti halal atau haram, hukum Islam juga
terdiri atas kategori - kategori relasional. Lebih penting lagi adalah bahwa
hukum Islam sesungguhnya terdiri atas norma - norma berjenjang ( berlapis ). Di
zaman lampau pelapisan itu terdiri atas dua tingkat norma: peraturan hukum
konkret (al-ahkam al-far’iyyah), dan asas - asas umum (al-usul
al-kulliyyah). Asas - asas umum itu dalam pandangan para ahli hukum Islam
klasik mencakup kategori yang luas sehingga meliputi pula nilai - nilai dasar (al-qiyam
al-asasiyyah) hukum Islam. Oleh karena itu untuk praktisnya norma - norma
tersebut dibagi saja ke dalam tiga tingkatan, yaitu (1) peraturan konkret, (2)
asas-asas umum, dan (3) nilai-nilai dasar.
Atas dasar
pelapisan norma-norma hukum Islam ini, maka penelitian normatif hukum Islam
dapat dibedakan menjadi (i) penelitian filosofis, yaitu kajian mengenai
nlai-nilai dasar hukum Islam, (ii) penelitian doctrinal, yaitu kajian untuk
menemukan doktrin-doktrin atau asas-asas umum hukum Islam, dan (iii) penelitian
klinis, yang disebut juga sebagai penemuan hukum syar’i untuk menemukan hukum in
concreto guna menjawab suatu kasus tertentu. Secara keseluruhan skema
penelitian hukum Islam dapat dilihat dalam ragaan berikut:
Penelitian
normatif hukum Islam dalam metodologi klasik umumnya bersifat sui generis, dalam
arti penyelidikan mengenai norma-norma hukum Islam lebih banyak dilihat dari
segi ajaran normatif dan karenanya terfokus pada teks-teks (al-Qur’an dan
hadis). Berdasarkan tesis al-Gazzali tentang pemaduan wahyu dan akal (yang
meliputi rasio dan pengalaman) manusia dan pandangannya bahwa ilmu hukum Islam
menyelidiki tingkah laku, kiranya penelitian normatif hukum Islam ini dapat
dikembangkan tidak hanya melalui teks-teks saja (bersifat sui generis),
tetapi juga dapat dipadukan dengan pengalaman sehingga menjadi penelitian sui
generis-kum-empiris, yang berarti norma-norma hukum tidak hanya dicari
dalam teks-teks syari’ah belaka, tetapi juga di dalam kehidupan manusia dan
perilaku masyarakat itu sendiri.[17]
Pemaduan ini
dilakukan dengan membuat hubungan dialektis antara teks – teks syari’ah dan
pengalaman eksistensial manusia, dimana teks – teks itu menjadi sumber yang
memberikan pengarahan tingkah laku dalam kehidupan. Akan tetapi pengalaman
eksistensial kehidupan dalam sutu lokasi sosial tertentu juga memberi wawasan
bagaimana teks – teks syari’ah itu harus difahami dan ditafsirkan. Apabila
hukum – hukum yang diperoleh dari kenyataan masyarakat berbeda dengan ketentuan
teks, maka kenyataan direkontruksi dan dihadapkan kepada yang ideal dalam suatu
hubungan dialektis.
Sebagai cotoh
paling sederhana adalah pasal 171 huruf h dari KHI (kompilasi hukum Islam) di
Indonesia yang merupakan hasil pemaduan kreatif antara norma tekstual yang
melarang pengangkatan anak dengan kenyataan empiris masyarakat dimana banyak
kasus pengangkatan anak. Pasal tersebut merumuskan anak angkat sbagai “anak
yang dalam pemeliharaan hidupnya sehari – hari, biaya pendidikan dan sebagainya
beralih dari orang tua asal kepada orang tua angkatnya berdasarkan kepurusan
pengadilan.” Begitu pula pasal 185 dan 209 KHI tidak lain dari suatu sintesis
antara ketentuan normatif tekstual fiqh dan kenyataan masyarakat.
E. Kesimpulan
Usul fikih merupakan metode pengkajian Islam pada
umumnya dan dalam sejarah kebudayaan Islam inilah satu-satunya metode khas
Islam yang berkembang, namun dalam pengertian khusus, usul fikih adalah suatu
metode penemuan hukum syari’ah. Sebagai metode penemuan hukum, ushul fikih
merupakan bagian dari metode penelitian hukum Islam secara umum. Penelitian
hukum Islam secara keseluruhan dibedakan ke dalam dua bidang besar, yaitu
penelitian hukum Islam deskriptif dan penelitian hukum Islam preskriptif.
Penelitian hukum Islam deskriptif meneropong hukum Islam sebagai suatu fenomena
sosial yang berinteraksi dengan gejala-gejala sosial lainnya.
Dalam penelitian hukum Islam deskriptif pendekatan yang digunakan menggunakan
pendekatan serta ilmu-ilmu sosial seperti halnya historis, sosiologis,
antropologis, politik ekonomi, dan pendekatan - pendekatan dan ilmu sosial
lainnya
Penelitian hukum Islam preskriptif bertujuan
menggali norma-norma hukum Islam dalam tataran das sollen, yaitu
norma-norma yang dipandang ideal untuk dapat mengatur tingkah laku manusia dan
menata kehidupan bermasyarakat yang lebih baik. Usul fikih termasuk ke dalam
bidang penelitian hukum Islam preskriptif, yang bertujuan menemukan norma-norma
syari’ah untuk merespon berbagai permasalahan dari sudut pandang normatif.
Didalam penelitian hukum Islm preskriptif inilah ditentukan hukum benar salah,
sedangkan ushul fiqih sebagai alat penelitian dalam penelitian hukum
preskriptif ini terletak pada penelitian norma-norma in concreto.
Pola dikotomis, khususnya
pada aspek orientasi, paradigma, dan tipologi penelitian, tampak sih sangat
kental. Pada aspek orientasi, misalnya, kecenderungan normatif-deduktif tampak
lebih mendominasi keseluruhan studi ketimbang analisis yang bersifat
empiris-induktif. Alasan yang seringkali dikemukakan bahwa hukum Islam adalah
ilmu normatif yang steril dari berbagai persoalan empiris-sosiologis. Padahal
eksistensi hukum Islam juga tidak terlepas dari ruang waktu di mana dan kapan
produk hukumnya dilahirkan (Tagayyur al-Ahkam bi Tagayyur al-Azminah wa
al-Amkinah).
Daftar
Bibiografi
Amin Abdullah, Paradigma Alternatif Pengembangan Ushul
Fiqh Dan Dampaknya Pada Fiqh Kontemporer, dalam Ainurrofiq (ed.), Mazhab
Jogja: Menggagas Paradigma Ushul Fiqh Kontempore, cet. 1 (Yogyakarta:
Ar-Ruzz, 2002).
Cik Hasan Bisri, Pilar-Pilar
Penelitian Hukum Islam Dan Pranata Sosial, (Jakarta: RajaGrafindo Persada,
2004).
Fazlur Rahman, Islam, Alih bahasa: Ahsin Mohammad,
(Bandung: Pustaka, 1994)
Joseph scacht, penagantar
hukum Islam,(Jakarta: Islamika, 2003).
Muhammad
Roy, Ushul Fiqh Madzhab Aristoteles: Pelacakan Logika Aristoteles dalam Qiyas
Ushul Fiqih,cet. 1 (Yogyakarta: Safiria Insania Press, 2004).
Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih, (Bandung: Pustaka
Setia, 1999).
Syamsul
Anwar, Membangun Good Governance Dalam Penyelenggaraan BirokrasiPublik di
Indonesia: Tinjauan dari Perspektif Syari’ah dengan Pendekatan ilmu Usul Fikih,
Pidato Pengukuhan Guru Besar Ilmu Usul Fikih, (Yogyakarta: Tidak
diterbitkan, 2005).
…………………,
Metodologi Hukum Islam; kumpulan makalah tidak diterbitkan.
Wael B. Hallaq, A. History of
Islamic Legal Theories: An Introduction to Sunni Ushul Fiqh, (Cambridge:
Cambridge University Press, 1987).
[1] Joseph scacht, penagantar
hukum Islam,(Jakarta: Islamika, 2003).hlm.2.
[2] Asy-Syatibi hanya mengembangkan dan mengartikulasikan secara lebih
jelas lagi dari gagasan-gagasan al-Gazzali yang sebelumnya telah memberikan
sumbangan pokok (1) memperkenalkan dan mempertegas penerapan metode induksi
dalam kajian hukum Islam, di mana sebelumnya ijtihad hukum lebih bersifat
deduktif; dan (2) mengintrodusir konsep tujuan hukum (maqasid asy-syari’ah) dan
salah satu tujuan hukum itu adalah maslahat. Lihat, Syamsul Anwar, Metodologi
Hukum Islam, Kumpulan makalah tidak diterbitkan, hlm. 41.
[3] Amin Abdullah, Paradigma Alternatif Pengembangan Ushul Fiqh Dan
Dampaknya Pada Fiqh Kontemporer, dalam Ainurrofiq (ed.), Mazhab Jogja:
Menggagas Paradigma Ushul Fiqh Kontempore, cet. 1 (Yogyakarta: Ar-Ruzz,
2002), hlm. 119.
[4] Wael B. Hallaq, A. History of Islamic Legal Theories: An
Introduction to Sunni Ushul Fiqh, (Cambridge: Cambridge University Press,
1987).
[5] Wael B. Hallaq, A. History…., hlm.214.
[6] Amin Abdullah, Paradigma Alternatif….., hlm. 121.
[7] Muhammad Roy, Ushul Fiqh Madzhab
Aristoteles: Pelacakan Logika Aristoteles dalam Qiyas Ushul Fiqih,cet. 1 (Yogyakarta : Safiria Insania Press, 2004), hlm. 20-21.
[8] Muhammad Roy, Ushul Fiqh Madzhab Aristoteles,. hlm. 22-23.
[9] Muhammad Roy, Ushul Fiqh Madzhab Aristoteles,. hlm. 23
[10] Muhammad Roy, Ushul Fiqh Madzhab Aristoteles,. hlm. 27.
[11] Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih, (Bandung:
Pustaka Setia, 1999), hlm.24.
[12] Fazlur Rahman, Islam, Alih bahasa: Ahsin Mohammad, (Bandung:
Pustaka, 1994), hlm. 165.
[13] Cik Hasan Bisri, Pilar-Pilar Penelitian Hukum Islam Dan Pranata
Sosial, (Jakarta :
RajaGrafindo Persada, 2004), hlm. 38.
[14] Cik Hasan Bisri, Pilar-Pilar Penelitian Hukum Islam,.. hlm.
40-41.
[15] Syamsul Anwar, Metodologi Hukum Islam, kumpulan makalah
tidak diterbitkan…., hlm. 47.
[16] Syamsul Anwar, Membangun
Good Governance Dalam Penyelenggaraan BirokrasiPublik di Indonesia: Tinjauan
dari Perspektif Syari’ah dengan Pendekatan ilmu Usul Fikih, Pidato
Pengukuhan Guru Besar Ilmu Usul Fikih, (Yogyakarta :
Tidak diterbitkan, 2005), hlm. 2-3.
[17] Syamsul Anwar, Metodologi…., hlm. 51.
No comments:
Post a Comment