ISTRI BEKERJA DALAM
PANDANGAN ISLAM
A. Pendahuluan
Secara tradisional, tanggung jawab untuk menyediakan
segala kebutuhan rumah tangga adalah tanggung jawab suami.[1] Demikian
pula dalam ajaran Islam, di dalam rumah tangga, tanggung
jawab memberi nafkah dan memenuhi kebutuhan keluarga, baik berupa makanan,
minuman, ataupun pakaian adalah tanggung jawab laki-laki dan bukan tanggung
jawab perempuan. Di dalam nash al-Qur'an kaum laki-laki dianjurkan mencari yang
halal dan menafkahi istri serta keluarganya, seperti makanan, pakaian, tempat
tinggal, dan sebagainya termasuk juga biaya pendidikan anak. Allah SWT
berfirman:
Artinya: “Tempatkanlah mereka
(para isteri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah
kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. dan jika mereka
(isteri-isteri yang sudah ditalaq) itu sedang hamil, Maka berikanlah kepada
mereka nafkahnya hingga mereka bersalin, kemudian jika mereka menyusukan
(anak-anak)mu untukmu Maka berikanlah kepada mereka upahnya, dan
musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu) dengan baik; dan jika kamu
menemui kesulitan Maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya.” (Ath-Thalaq:
6)
Sementara, seorang perempuan mempunyai peran yang
tidak kalah penting. Perempuan
bisa menjadi istri, ibu serta ‘manager’ di dalam rumah tangga.
Pendidikan anak ketika berada di dalam rumah sangat tergantung sekali kepada
seorang perempuan atau ibu. Karena seorang ayah yang tentunya memiliki
kewajiban untuk mencari nafkah tidak sepenuhnya bisa memberikan perhatian
kepada anak. Untuk itulah
peran istri di dalam rumah tangga menjadi sangat penting sekali.
Namun,
pada era modern seperti sekarang ini dengan peradaban yang semakin berkembang
banyak sekali perempuan yang berkarir di luar rumah. Tidak jarang juga seorang
perempuan yang sebenarnya perekonomian suaminya sudah cukup untuk memenuhi
kebutuhan rumah tangga, tetapi masih bekerja di luar rumah.
Dalam surat an-Nisa’ ayat 34 disebutkan:
Artinya: “Kaum laki-laki itu
adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian
mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita)…
Dari potongan ayat tersebut disebutkan bahwa di dalam
rumah tangga laki-laki adalah pemimpin kaum perempuan. Namun, jika al-Qawamah
dipahami sebagai justifikasi gender kaum laki-laki atas perempuan
maka hal itu akan bertentangan dengan banyak nash al-Qur’an seperti yang
terdapat pada:
Artinya: “Maka
Tuhan mereka memperkenankan permohonannya (dengan berfirman): Sesungguhnya aku
tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal di antara kamu, baik
laki-laki atau perempuan, (karena) sebagian kamu adalah turunan dari sebagian
yang lain…”(QS. Ali Imran: 195)
Dalam pandangan Allah SWT kaum laki-laki dan kaum
perempuan adalah setara dalam realitas
kemanusiaannya. Allah telah menciptakan pria dan wanita sama, ditinjau dari
sisi insaniahnya (kemanusiaannya). Artinya pria dan wanita diciptakan memiliki ciri
khas kemanusiaan yang tidak berbeda antara satu dengan yang lain. Keduanya
dikaruniai potensi hidup yang sama berupa kebutuhan jasmani, naluri dan akal.
Allah juga telah membebankan hukum yang sama terhadap pria dan wanita apabila
hukum itu ditujukan untuk manusia secara umum. Misalnya pembebanan kewajiban
sholat, shoum, zakt, haji, menuntut ilmu, mengemban dakwah, amar ma’ruf nahi
munkar dan yang sejenisnya. Semua ini dibebankan kepada pria dan wanita tanpa
ada perbedaan. Sebab semua kewajiban tersebut dibebankan kepada manusia
seluruhnya, semata-mata karena sifat kemanusiaan yag ada pada keduanya, tanpa
melihat apakah seseorang itu pria maupun wanita. Sedangkan ketidak setaraan
mereka terletak dalam gradasi amal shaleh yang mereka lakukan untuk ber-evolusi
menuju Allah.[2]
Islam memang membebaskan kaum perempuan dari tanggung
jawab mencari nafkah, namun tidak berarti perempuan tidak mempunyai hak untuk
bekerja dan memilih pekerjaan yang sesuai dan layak untuk perempuan berdasarkan
“skala prioritas”, tanpa mengabaikan tugas dan peran pokok dari perempuan.[3]
Seorang
istri yang bekerja, memiliki tanggung jawab ganda. Selain harus melaksanakan
pekerjannya, dia juga harus menjadi istri sekaligus ibu di dalam rumah tangga yang
tanggung jawabnya tidak kalah besar. Di
luar pencapaian kemampuan professional, perempuan tersebut masih menghadapi
soal-soal domestik di dalam rumah tangga. Meskipun demikian soal-soal domestik
tidak menjadi penghalang bagi perempuan untuk beraktifitas di sektor publik.
Nabi Muhammad Saw. bersabda:
كلّكم راع،
وكلّكم مسئول عن رعيّته، والأمير راع،
والرّجل راع على أهل بيته، والمرأة راعية على بيت زوجها وولده. فكلّكم راع، وكلّكم
مسعول عن رعيّته.
Artinya: “Setiap kamu pemimpin,
dan kalian semua bertanggung jawab atas segala yang dipimpinnya, amir pemimpin,
laki-laki pemimpin atas keluarganya, dan perempuan pemimpin atas rumah suami
dan anaknya. Maka setiap kamu pemimpin, dan kalian semua bertanggung jawab atas
yang dipimpinnya.”
Seorang
perempuan yang mengetahui kewajiban dan tanggung jawabnya akan bisa mengatur
segala sesuatunya agar didapatkan keseimbangan antara karir dan keluarga.[4]
Perempuan
dianggap menjadi tonggak terbentuknya keluarga yang harmonis atau di dalam
Islam lebih dikenal dengan keluarga sakinah. Karena perempuan selama ini
bertugas untuk mengatur rumah tangga dan memberikan perhatian terhadap anak
juga suami tentunya. Karena itulah peran dan tugas perempuan di dalam rumah
tangga menjadi faktor penting untuk terbentuknya keluarga sakinah.
Banyak
orang yang menginginkan memiliki keluarga sakinah, yaitu keluarga yang
selaras dan serasi dalam aspek - aspek kehidupan yang mereka arungi bersama.
Keluarga merupakan unsur sentral dalam ajaran Islam, sebab unit keluarga
merupakan sendi utama masyarakat. Atas landasan unit - unit keluarga yang sehat
akan berdiri tegak bangunan masyarakat yang sehat. Akan indah kehidupan
masyarakat, bangsa dan negara apabila lahir, tumbuh, dan berkembang dari
keluarga yang bahagia.[5]
Berangkat
dari latar belakang tersebut, maka perlu untuk
dikaji mengenai kehidupan keluarga dari istri yang bekerja, agar segala keraguan mengenai peran
perempuan dalam wilayah publik serta pengaruhnya dalam kehidupan keluarga dapat
terjawab.
B. Perempuan Dalam Perspektif
Islam
Islam
menjaga dan menjamin perempuan agar senantiasa dalam kebaikan penuh setiap
saat, Islam menganggap bahwa perempuan adalah mitra bagi laki-laki. Agama Islam
menghormati kaum perempuan dan mengangkat kepada derajat yang tinggi. Allah SWT
menganggap perempuan sama kedudukannya dengan laki-laki, dalam Al-Qur’an telah
disebutkan berbagai ayat yang menjelaskan hal tersebut, di antaranya adalah:
Artinya: ”Barangsiapa
mengerjakan perbuatan jahat, Maka Dia tidak akan dibalasi melainkan sebanding
dengan kejahatan itu. dan Barangsiapa mengerjakan amal yang saleh baik
laki-laki maupun perempuan sedang ia dalam Keadaan beriman, Maka mereka akan
masuk surga, mereka diberi rezeki di dalamnya tanpa hisab.”(Al-Mu’min:40)
Islam
telah memuliakan perempuan dengan menjadikannya setara dengan laki-laki dalam
setiap lini kehidupan, tidak ada kemuliaan yang dapat menandingi dengan
kemuliaan yang diberikan oleh Islam. Sebagai bukti penghormatan Islam
atas perempuan adalah yang terdapat di dalam Al-Qur'an dan Sunnah. Didalam
Al-Qur'an banyak ditemui ayat-ayat yang berbicara tentang perempuan. Bahkan ada
surat di dalam Al-Qur'an yang disebut sebagai surat wanita yaitu surat
An-Nisa’. Surat Maryam, yang
menggunakan nama perempuan beriman. Berikut juga dengan surat Al-Mujadillah dan
Al-Mumtahanah.
Islam
juga memberikan hak-hak kepada perempuan sebagaimana yang diberikan kepada
laki-laki. Perempuan berhak mendapatkan pendidikan dan berjuang di medan
perang. Perempuan juga boleh untuk melakukan transaksi jual-beli sendiri.
Perempuan juga berhak untuk memiliki harta benda dan menafkahkannya sesuai
keinginannya. Tak seorangpun berhak memaksanya untuk menafkahkan hartanya.
Begitulah
bukti-bukti bahwa Islam sangat memuliakan perempuan dengan menyetarakan antara
laki-laki dan perempuan, kalaupun ada suatu hak dan kewajiban yang berbeda
tentu Allah sudah menetapkan hikmah yang menyertainya.
C. Perempuan Bekerja Dalam
Konteks Sejarah
Dalam konteks sejarah, sebenarnya peran
mencolok atau menonjol dari perempuan telah tampak sejak dulu. Hal tersebut
bisa dilihat dalam peristiwa perang Jamal, di situ Aisyah berperan sebagai
komandan perang yang memimpin para pasukan untuk melawan Ali bin abi Thalib.
Oleh karena itu, dalam konteks saat ini bukan merupakan hal yang mustahil
ketika perempuan juga ikut serta memainkan peran dalam bidang sosial, tehnik,
politik, serta agama.[6]
Seorang istri
diharapkan mampu untuk menjaga dan melaksanakan aktivitas rumah tangga. Lebih
lanjut bila sudah menjadi adat dalam komunitas masyarakatnya, istri dapat
diminta untuk bekerja di luar rumah, yaitu di ladang atau memelihara binatang
ternak.[7] Dan semenjak meletusnya perang - perang suci,
kaum perempuan juga pergi ke medan pertempuran untuk membantu serta merawat
para pasukan yang terluka dan yang meninggal.[8]
Perempuan dari dahulu sudah bekerja, tetapi
baru pada masyarakat industri modern mereka itu berhak memasuki pasaran, tenaga
kerja sendiri, untuk memperoleh pekerjaan dan promosi tanpa bantuan para
lelaki. Dalam perkembangannnya, perempuan dapat lebih bebas keluar masuk
pasaran tenaga kerja, dan diterima sebagai pekerja. Perempuan juga diberi
kesempatan untuk menduduki posisi yang tinggi dalam segala jenis pekerjaan. Pada
zaman dahulu, sedikit sekali perempuan yang bekerja kecuali mereka yang
terdorong oleh karena kemiskinan. Akan tetapi pada masa sekarang ini, perempuan
bekerja untuk menambah tingkat kehidupan keluarga dan atau karena mereka memang
ingin bekerja.[9] Selain
itu, perempuan juga ingin mengekspresikan diri dan memperluas jaringan sosial
serta mengaktualisasikan diri melalui pekerjaan.[10]
Islam sangat adil dalam memberlakukan wanita,
memuliakan dan memberi kebebasan dalam melakukan berbagai aktifitas, ibadah,
dan pendekatan diri kepada Allah tak ubahnya seperti laki - laki. Islam juga
tidak melarang wanita ikut berlomba - lomba dalam beramal shaleh agar
memperoleh kedudukan dan derajat yang tinggi di hadapan Allah.[11]
Semuanya terkemas dalam firman Allah SWT, yaitu:
Artinya:“Allah
menjanjikan kepada orang-orang mukmin, lelaki dan perempuan, (akan mendapat)
surga yang dibawahnya mengalir sungai-sungai, kekal mereka di dalamnya, dan
(mendapat) tempat-tempat yang bagus di surga 'Adn. dan keridhaan Allah adalah
lebih besar; itu adalah keberuntungan yang besar”. (QS. At- Taubah: 72)
Ayat tersebut menunjukkan bahwa wanita
mempunyai tanggung jawab dalam bidang keagamaan sama dengan laki - laki. Allah
SWT mensejajarkan wanita dengan laki- laki dalam bidang hak asasi manusia,
peran di bidang keagamaan dan peradaban yang disesuaikan dengan kodrat
kewanitaannya yang lemah lembut, juga memuliakan, mengasihi, dan bersimpati
terhadapnya.
Seorang wanita tidak hanya terbatas bekerja di
wilayah domestik, akan tetapi ia juga mempunyai kesempatan untuk bekerja di
luar rumah seperti suaminya. Hal tersebut merupakan citra kebajikan yang
terpuji dan suatu bentuk saling tolong menolong. Wanita mempunyai posisi yang
sama dengan laki - laki dalam penguasaan bidang - bidang kehidupan, dalam
melakukan aktifitas untuk perkembangan masyarakat, agama, ilmu pengetahuan,
politik, bisnis, serta aktifitas - aktifitas lainnya.[12]
Berkaitan dengan hal ini, Allah SWT berfirman:
Artinya:
“Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka
(adalah) menjadi penolong bagi sebagian yang lain. mereka menyuruh
(mengerjakan) yang ma'ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat,
menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. mereka itu akan
diberi rahmat oleh Allah; Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”.
(QS. At- Taubah: 71)
Pada dasarnya dalam Islam, memberi nafkah bagi
keluarga adalah kewajiban seorang suami. Akan tetapi hal ini bukan berarti
menafikan perempuan (istri) untuk tidak berpartisipasi dalam wilayah publik,
sebagaimana yang dilakukan oleh laki - laki (suami). Akan tetapi, keadaaan ekonomi terkadang juga menuntut
istri turut bekerja untuk menutup kebutuhan keluarga sehari - hari.
Adanya ungkapan yang mengisyaratkan bahwa laki -
laki lebih unggul setingkat dari perempuan tidaklah harus diartikan bahwa
mereka tidak setara. Karena masing- masing memiliki peran dan fungsi yang
berbeda, terutama dalam kehidupan rumah tangga. Perbedaan ini tidaklah menutup
kemungkinan bagi perempuan untuk berkecimpung di luar rumah, apalagi bagi
mereka yang dapat mengatur distribusi kerja masing - masing, bukankah Rasul SAW
pernah bersabda bahwa sebaik - baik manusia adalah yang dapat membawa manfaat.
Dalam tugas - tugas publik serta sosial (keagamaan), laki - laki dan perempuan
mempunyai peran yang sama.[13]
Selain itu, spiritually speaking Allah
membuka peluang kompetitif bagi kaum laki- laki dan perempuan untuk menjadi
hamba Allah yang paling bertakwa[14] dan
aktivitas ibadah mereka diberikan reward yang terbaik. Sejauh aktivitas
yang dilakukan perempuan dapat membawa manfaat kepada individu, masyarakat,
bangsa ataupun Negara. Maka hal itu dapat dibenarkan, dan bahkan dinilai
sebagai perbuatan yang terpuji. Dalam hal ini berarti bahwa baik laki - laki
maupun perempuan sama - sama memiliki andil dalam rangka mensejahterakan
masyarakat.[15]
Dalam surat al-Nahl,
ayat 97 disebutkan secara tegas bahwa untuk meciptakan kehidupan yang baik
(hayatan thayyibah) dipersyaratkan peran aktif setiap orang beriman, lelaki dan
perempuan (secara eksplisit disebutkan lelaki dan perempuan), tentu dengan
melakukan aktifitas - aktifitas yang positif (amalan shalihan).
Di
dalam surat al-Qashash,ayat 23-28, juga dikisahkan mengenai dua
puteri Nabi Syu’aib as yang bekerja menggembala kambing
di padang rumput, yang kemudian bertemu dengan Nabi Musa
as. Surat al-Naml ayat 20-44, juga mengapresiasi kepemimpinan (karir
politik) seorang perempuan yang bernama Balqis. Disamping ayat-ayat lain yang
mengisyaratkan bahwa perempuan itu boleh bekerja menyusukan anak dan memintal
benang.
Dalam
praktek kehidupan zaman Nabi Saw, banyak riwayat menyebutkan, beberapa sahabat
perempuan bekerja di dalam dan di luar rumah, baik untuk kepentingan sosial,
maupun untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Sebutlah misalnya, Asma bint Abu
Bakr, isteri sahabat Zubair bin Awwam, bekerja bercocok tanam, yang terkadang
melakukan perjalanan cukup jauh. Di dalam kitab hadits Shahih Muslim,
disebutkan bahwa ketika Bibi Jabir bin Abdullah keluar rumah untuk bekerja
memetik kurma, dia dihardik oleh seseorang untuk tidak keluar rumah. Kemudian
dia melapor kepada Nabi Saw, yang dengan tegas mengatakan kepadanya: “Petiklah
kurma itu, selama untuk kebaikan dan kemaslahatan”.
Di
dalam literatur fikih (jurisprudensi Islam) juga secara umum tidak ditemukan
larangan perempuan bekerja, selama ada jaminan keamanan dan keselamatan, karena
bekerja adalah hak setiap orang. Variasi pandangan ulama hanya muncul pada
kasus seorang isteri yang bekerja tanpa restu dari suaminya. Kemudian
pertanyaan yang muncul adalah: apakah seorang isteri yang bekerja tanpa restu
suami dianggap melanggar peraturan agama?
Kalau
lebih jauh menelusuri lembaran-lembaran literatur fikih, dalam pandangan banyak
ulama fikih, suami juga tidak berhak sama sekali untuk melarang isteri bekerja
mencari nafkah, apabila nyata-nyata dia tidak bisa bekerja mencari nafkah, baik
karena sakit, miskin atau karena yang lain.[16]
Lebih
tegas lagi dalam fikih Hambali, seorang lelaki yang pada awalnya sudah
mengetahui dan menerima calon isterinya sebagai pekerja (baca : Perempuan
Karir) yang setelah perkawinan juga akan terus bekerja, suami tidak boleh
kemudian melarang isterinya bekerja atas alasan apapun.[17]
D.
Hak Dan
Kewajiban Suami isteri Di Dalam Rumah Tangga
Jika suami dan isteri sama-sama menjalankan tanggung
jawabnya masing-masing, maka akan terwujudlah ketentraman dan ketenangan hati
sehingga sempurnalah kebahagiaan hidup berumah tangga. Dengan demikian tujuan
hidup berkeluarga akan terwujud sesuai dengan tuntutan agama.
Yang dimaksud hak di sini
adalah segala sesuatu yang diterima oleh seseorang dari orang lain, sedangkan
yang dimaksud dengan kewajiban adalah segala sesuatu yang harus dilakukan
seseorang kepada orang lain. Dalam hubungan suami isteri dalam rumah tangga
suami mempunyai hak dan begitu pula isteri mempunyai hak. Di
balik itu suami mempunyai kewajiban dan begitu pula isteri.
a.
Hak dan Kewajiban Bersama Suami isteri
1. Suami isteri
dihalalkan saling bergaul mengadakan hubungan seksual. Perbuatan ini merupakan
kebutuhan bersama suami isteri yang dihalalkan secara timbal balik.[18]
2. Timbulnya
hubungan suami dengan keluarga isterinya dan sebaliknya hubungan isteri dengan
keluarga suaminya, yang disebut dengan hubungan mushaharah.
3. Hubungan saling
mewarisi di antara suami isteri. Setiap pihak berhak mewarisi pihak lain bila
terjadi kematian.[19]
4. Anak mempunyai
nasab yang jelas bagi suami.
5. Kedua belah
pihak wajib bertingkah laku dengan baik, sehingga dapat melahirka kemesraan dan
kedamaian hidup.[20]
Hukum positif di Indonesia, juga mengatur mengenai hak
dan kewajiban suami isteri. Yaitu yang terdapat pada Undang - undang nomor 1
tahun 1974, pada BAB VI tentang Hak Dan Kewajiban Suami Isteri, yang berbunyi
sebagai berikut:
Pasal 30
Suami-isteri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga
yang menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat.
Pasal 31
(1) Hak dan
kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan
rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat.
(2) Masing - masing
pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum.
(3) Suami adalah
kepala keluarga dan isteri ibu rumah tangga.
Pasal 32
(1) Suami-isteri
harus mempunyai kediaman yang tetap.
(2) Rumah tempat
kediaman yang dimaksud dalam ayat (1) Pasal ini ditentukan oleh suami-isteri
bersama.
Pasal 33
Suami-isteri wajib saling cinta mencintai hormat menghormati, setia dan
memberi bantuan lahir batin yang satu kepada yang lain.
Pasal 34
(1) Suami wajib
melindungi isterinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah
tangga sesuai dengan kemampuannya.
(2) Isteri wajib
mengatur urusan rumah tangga sebaik - baiknya.
(3) Jika suami atau isteri melalaikan kewajibannya dapat
mengajukan gugatannya kepada Pengadilan.[21]
Di dalam Kompilasi Hukum sendiri sudah dijelaskan
mengenai hak dan kewajiban suami isteri pada buku I Hukum Perkawinan Bab XII
Pasal 77 dan 78, yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 77
(1) Suami isteri
memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang sakinah,
mawaddah dan rahmah yang menjadi sendi dasar dari susunan
masyarakat.
(2) Suami isteri
wajib saling cinta mencintai, hormat menghormati, setia dan memberi bantuan
lahir batin yang satu kepada yang lain.
(3) Suami isteri
memikul kewajiban untuk mengasuh dan memelihara anak-anak mereka, baik mengenai
pertumbuhan jasmani, rohani maupun kecerdasannya dan pendidikan agamanya.
(4) Suami isteri
wajib memelihara kehormatannya.
(5) Jika suami
atau isteri melalaikan kewajibannya masing-masing dapat mengajukan gugatan
kepada Pengadilan Agama.
Pasal 78
(1) Suami isteri
harus mempunyai tempat kediaman yang tetap.
b. Kewajiban Suami Dan Hak Isteri
Adapun kewajiban suami terhadap isterinya dapat dibagi
kepada dua bagian:
1.)
Kewajiban yang bersifat materi yang disebut nafkah.
Nafkah
merupakan kewajiban suami terhadap isteri dalam bentuk materi, karena kata nafkah
sendiri berkonotasi materi.[23]
Menurut Ibnu Rusyd jumhur fuqaha berpendapat bahwa nafkah adalah
wajib. Namun untuk masalah waktu pemberian nafkah terjadi perbedaan
pendapat.
Malik
berpendapat bahwa nafkah baru menjadi wajib atas suami yang telah menggauli
atau bergaul, sedangkan isteri adalah orang yang dapat digauli, dan suami pun
telah dewasa. Abu Hanifah dan Syafi’i berpendapat bahwa suami yang belum dewasa
wajib memberikan nafkah apabila isteri sudah dewasa. Tetapi jika suami telah
dewasa dan isteri belum dewasa, Syafi’i mempunyai dua pendapat. Pertama, sama
dengan pendapat Malik. Kedua, isteri berhak memperoleh nafkah betapapun juga keadaannya.[24]
2.) Kewajiban yang
bersifat non materi
Kewajiban
suami terhadap isteri yang bersifat non materi adalah:
a.) Menggauli isteri secara baik dan patut,
maksudnya adalah suami harus menjaga ucapan dan perbuatan jangan sampai
menyakiti hati isteri. Sebagaimana firman Allah SWT:
Artinya: “..dan bergaullah
dengan mereka secara patut. kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka
bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, Padahal Allah
menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” (Q.S. An-Nisa': 19)
Selain itu yang
dimaksud pergaulan secara khusus adalah hal-hal yang termasuk pemenuhan
kebutuhan seksual.
b.) Menjaga dirinya dan keluarganya dari segala
sesuatu yang mungkin melibatkannya pada suatu perbuatan dosa atau maksiat.
c.)
Suami juga wajib memberikan rasa tenang, rasa cinta dan kasih sayang kepada
isterinya.[25]
c. Kewajiban Isteri Dan Hak Suami
Kewajiban
isteri terhadap suami yang merupakan hak suami, tidak ada yang berbentuk materi
secara langsung. Hanya kewajiban non materi di antaranya adalah:
1.) Menggauli suami secara layak sesuai dengan
kodratnya.[26]
2.) Menaati suami dalam hal-hal yang tidak
maksiat.
3.) Menjauhkan
diri dari mencampuri sesuatu yang dapat menyusahkan suami .
4.) Tidak bermuka
masam di hadapan suami.
E.
Kesimpulan
Seorang istri yang sudah menikah harus
dicukupi nafkahnya oleh suaminya karena inilah hal yang menunjukkan kelebihan
laki-laki dalam rumahnya.
”Kaum laki-laki adalah pemimpin kaum
wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian
yang lain dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta
mereka” (QS An-Nisa: 34).
Oleh karena itu yang tidak boleh diabaikan
oleh seorang suami adalah tanggungjawab dalam nafkah keluarga karena ini dalam
hukum Islam merupakan suatu hal yang wajib bagi laki-laki.
Namun ada saat yang mana seorang wanita
mempunyai kemampuan untuk mengaplikasikan potensinya, atau karena kebutuhan
yang mendesak membantu suami memenuhi nafkah keluarga. Maka dipilihlah cara
dengan bekerja yang menghasilkan penghasilan. Jadi alasan istri bekerja bisa
bermacam - macam namun yang harus diingat bahwa jika ingin bekerja maka harus
mendapat ijin suaminya, Kemudian apa yang menjadi penghasilannya adalah hak
sepenuhnya si wanita itu sendiri. Para shahabiyah
maupun istri Rasulullah saw ada yang mempunyai penghasilan sendiri. Istri
Abdullah bin mas’ud bahkan dari peghasilannya bisa menghidupi keluarganya dan
anak - anak yatim yang menjadi tanggungannya. Zainab binti Jahsy, istri
Rasulullah saw biasa menyamak kulit dan dari hasil pekerjaannya digunakan untuk
shadaqah. Jadi sekali lagi, hasil kerja istri adalah hak istri, suami tidak
layak mengambil tanpa keridloan istrinya. Namun jika istri ini memberi dengan
sukarela maka semoga ini menjadi amal sholih sang istri.
Sebuah
keluarga mestinya tak ada aksi paksa memaksa. Jika suami mengambil dari milik
istri, maka ia telah melakukan hal yang tidak ma’ruf dalam keluarganya.
Bukankah menjadi kewajiban suami adalah memperlakukan istri dengan ma’ruf
begitupun sebaliknya.
”....dan
para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang
ma’ruf. Akan tetapi para suami mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada
istrinya. Dan Allah Maha perkasa lagi Maha Bijaksana” (QS Al-Baqarah: 228).
Sebagai istri yang
telah diijinkan bekerja maka menjadi hal yang lumrah kemudian sang istri tidak
hanya memikirkan untuk kepentingan dirinya semata. Dia bisa bershadaqah pada
pihak-pihak yang dianggap membutuhkan. Dan sebenarnya shadaqah pada keluarga
akan memperoleh dua pahala, yakni pahala shadaqah dan pahala karena kekerabatan
itu. Alangkah baiknya jika ada komunikasi yang baik pada suami-istri. Saling
memberi dan menerima, itulah akhlak utama dalam perkawinan.
DAFTAR PUSTAKA
Ajijola, A. D. The Concept of Family in Islam. New Delhi: Adam
Publisher, 2006.
Al-Buthi, Sa’id
Ramadhan. Perempuan Antara Kezaliman Sistem Barat Dan Keadilan Islam. Solo:
Era Intermedia, 2002.
Al- Zuhaili, Wahbah. Al- Qur’an Dan Paradigma Peradaban. terj.
M. Thohir dan Team Titian Ilahi. Yogyakarta: Dinamika, 1996.
J. Goode, William. The Family/Sosiologi Keluarga. terj. Lailahanoum Hasyim. Jakarta: Bumi Aksara,
2007.
Knox, David. Choices in
Relationships: An Introduction to Marriage and the Family. West Publishing
Company.
Levy, Reuben. Susunan Masyarakat Islam. terj.
H. A. Ludjito. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1986.
Nye, F.
Ivan. Role Structure and Analysis of the Family. USA: Sage Publications,
1976.
Ridha, Akram. Tanggung Jawab Wanita Dalam Rumah Tangga. Jakarta:
Sinar Grafika, 2005.
Saleh, Ahmad Syukri, “Kesetaraan dan Keadilan Jender dalam Islam:
Antara Pemahaman Tekstual dan Kontekstual”, dalam jurnal Akademika, Vol.
18 No. 2, 2006.
Shiddieq, Umay M. Dja’far. Indahnya
Keluarga Sakinah. Jakarta: Zakia Press, 2004.
[1]
F. Ivan Nye, Role Structure and Analysis of the Family (USA: Sage
Publication, 1976), hlm. 82.
[2] Sa’id Ramadhan Al-Buthi,Perempuan
Antara Kezaliman Sistem Barat Dan Keadilan Islam (Solo: Era Intermedia,
2002), hlm. 111.
[3] Ibid, 116.
[4] Akram Ridha, Tanggung Jawab Wanita
Dalam Rumah Tangga (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), hlm. 130.
[5] Umay M. Dja'far Shiddieq, Indahnya
Keluarga Sakinah (Jakarta: Zakia Press, 2004), hlm. 8.
[6] Ibid.,
[7] Reuben
Levy, Susunan Masyarakat Islam, H. A. Ludjito (terj.), (Jakarta: Pustaka
Firdaus, 1986), hlm. 110.
[8] A. D. Ajijola,
The Concept of Family in Islam ( New Delhi: Adam Publishers, 2006), hlm.
230.
[9]
William J. Goode, The Family/Sosiologi Keluarga, Lailahanoum Hasyim
(terj.), (Jakarta: Bumi Aksara, 2007), hlm. 153.
[10]
David Knox, Choices in Relationships: An Introduction to Marrisge and The
Family (West Publishing Company), hlm. 279.
[11] Wahbah
Al- Zuhaili, Al- Qur’an Dan Paradigma Peradaban, M. Thohir dan Team
Titian Ilahi (terj.), (Yogyakarta: Dinamika, 1996), hlm. 248.
[12] Ibid.,
hlm. 253.
[13]
Ajijola, The Concept of Family, hlm. 224.
[14]
Lihat QS. Al- Hujurat/ 49: 13.
[15]
Ahmad Syukri Saleh, “Kesetaraan dan Keadilan Jender dalam Islam: Antara
Pemahaman Tekstual dan Kontekstual”, dalam jurnal Akademika, Vol. 18 No.
2, 2006, hlm. 127.
[16] Fatwa
Ibn Hajar, juz IV, hlm.205. dan al-Mughni li Ibn Qudamah, juz VII, hlm.573.
[17] Al-fiqh
al-Islami wa adillatuhu, juz VII, hlm.795.
[18] Abd. Rahman Ghazaly, Fiqh
Munakahat, (Jakarta: Prenada Media, 2006), 155.
[19] Amir Sayrifuddin, Op., Cit., 163.
[20]
Slamet Abidin Dan Aminuddin, Op., Cit., 158.
[21]
Undang-undang No. 1 tahun 1974
[22]
Departemen Agama, Kompilasi Hukum Islam, 1991.
[23]
Amir Syarifuddin, Op., Cit., 165.
[24]
Al-Faqih Abdul Walid Muhammad bin Ahmad bin Muhammad Ibnu Rusyd, Bidayatul
Mujtahid Wa Nihayatul Muqtashid, diterjemahkan Imam Ghazali Said dan Ahmad
Zaidun, Bidayatul Mujtahid Analisa Fiqih Para Mujtahid, (Jakarta:
Pustaka Amani, 1989), 519.
[25]
Amir Syarifuddin, Op., Cit., 160-161.
[26]
Ibid, 162.
[27] Abd.
Rahman Ghazaly, Op., Cit., 158.
No comments:
Post a Comment