Mengintip Dunia PSK
Rasa empati, ya rasa empati terhadap sesama. tentu sangat perlu rasa empati ini dimiliki oleh semua orang, dengan rasa itu kita dapat memahami situasi maupun kondisi yang melingkupi kehidupan orang lain baik mereka seagama maupun bukan, sesama suku maupun tidak, Ras, Etnis maupun berbeda budaya. Semisal ketika kita menyimak sekelumit kisah dari para penjaja seks, jika belum mengenal mereka lebih dekat mungkin akan berfikir alasan menjadi penjaja seks sangat klise, yaitu kemiskinan.
Sementara hidup mereka lebih kompleks dari sekedar kemiskinan. Jika kita tidak memiliki rasa empati terhadap sesama tentu akan sulit memahami kondisi para penjaja seks tersebut dan menerima keadaan mereka. Sudah banyak kalangan yang melakukan penelitian terhadap mereka para penjaja seks akan tetapi suara para penjaja seks tidak pernah didengar dan dihiraukan, seakan dibisukan dan terbungkam. Mereka selalu diposisikan sebagai korban atau pelaku kejahatan tergantung dari kacamata siapa memandang mereka, bagi para aktifis perempuan yang mempunyai rasa empati akan menganggap mereka sebagai korban dari setruktur dan sistem ekonomi maupun politik. Sementara para aparat hukum dan ketertiban menyebut mereka sebagai PEKAT (penyakit masyarakat) yang harus di berantas, ditangkap dan ditahan. Justru kini upaya pengkriminalisasian penjaja seks bukan hanya dilakukan oleh aparat dilapangan, namun semakin dipertegas oleh banyaknya peraturan – peraturan negara dan peraturan daerah yang semakin memojokkan dan berusaha memarjinalkan para penjaja seks.
Mangapa negara dan masyarakat justru mempermasalahkan penjaja seks, kenapa tidak mempermasalahkan germo atau mucikari dan laki – laki hidung belang yang sungguh – sungguh mempraktikkan kapitalisme serta penindasan dengan dengan memanfaatkan tubuh orang lain. Hal inilah yang harus lebih diperhatikan oleh pemerintah jika hendak mengentaskan pelacuran. Bukan malah menyudutkan perempuan penjaja seks sebagai pelaku kejahatan, sekali nlagi mereka hanyalah berusaha dan berjuang untuk mempertahankan hidup dan berusaha membuat hidup agar lebih baik dimasa depan. Tidak ada lapangan kerja formal yang tersedia, apalagi dengan ijazah tamatan SD atau ibu – ibu paruh baya kalaupun ada kerja hasilnya tidak mencukupi biaya hidup yang tinggi seperti dikota – kota besar.
Menurut Hudiono (1999:49) dalam jurnal perempuan edisi 11, pada dasarnya pelacuran merupakan proses panjang penindasan dan disempowerment kaum perempuan yang tidak cukup dipersiapkan oleh budaya dan nilai-nilai yang mengitarinya untuk mandiri. Umumnya akar permasalahan yang mendorong terjadinya pelacuran adalah karena kemiskinan dan kebodohan, lapangan kerja dan ketrampilan yang kurang, serta urbanisasi yang dianggap jalan keluar bagi daerah pedesaan yang tidak bisa diandalkan untuk memperoleh nafkah. Sementara tuntutan hidup semakin tinggi seperti biaya sekolah anak-anak .
Selama ini apa yang sebenarnya diharapkan oleh para penjaja seks tersebut tidak pernah disuarakan, sebenarnya keinginan mereka sederhana saja yaitu aman bekerja jauh dari razia, tidak dilecehkan secara seksual, lalu berhenti menjadi PSK. Yang pada akhirnya menikah dan membina keluarga dalam kondisi ekonomi yang berkecukupan. Mereka bekerja keras saat ini agar masa depan lebih baik tanpa mengganggu orang lain tanpa merampas hak orang lain. Tentunya ada pihak – pihak yang tidak bisa menerima apapun alasan yang dikemukakan oleh para PSK tersebut. Karena menurut pandangan umum, melacur adalah perbuatan amoral dan berdosa. Namun jika kita mau bercermin dan melihat diri sendiri, siapalah kita yang mempertanyakan moralitas orang lain, siapalah kit yang menghakimi perbuatan orang lain sebagai wujud dari dosa. Terkadang manusia tidak dapat melihat kesalahan sendiri dan terus mengorek-ngorek kesalahan orang lain. Inilah saatnya kita untuk mengembangkan sikap empati dan merenungkan, seandainya kita yang menempati posisi mereka, apa yang akan kita lakukan? Mampukah kita bertahan ditengah ganasnya kehidupan atau justru terpuruk dalam keputus asaan. Namun jika penulis boleh menyarankan, ubahlah sudut pandang dalam melihat para penjaja seks. Lihatlah mereka sebagai bentuk dari setrategi bertahan hidup, juga sebagai sosok yang mandiri, berdaya dan bertahan hidup.
24 Feb 2011
10 Feb 2011
diskursus syari'ah Islam
DISKURSUS SYARI’AH ISLAM DI INDONESIA
A. PENDAHULUAN
Dalam pandangan hukum Tuhan, Islam berusaha untuk mengintegrasikan ruang lingkup kehidupan kaisar, yaitu kehidupan politik, sosial dan ekonomi kedalam pandangan dunia religius, yang mencakup segala hal. Karenanya hukum didalam Islam adalah aspek integral dari petunjuk tuhan, dan bukan suatu unsur yang terpisah.
Bagi Islam syari’ah adalah cara untuk mengintegrasikan umat manusia. Ia adalah cara dengan mana manusia memberikan arti religius bagi kehidupan sehari – hari dan mengintegrasikan kehidupan ini kedalam suatu pusat spiritual. Manusia hidup dalam keanekaragaman, ia hidup dan bertindak menurut berbagai kecenderungan dalam dirinya, beberapa diantaranya berasal dari keinginan hewani, beberapa lagi berasal dari aspek sentimental, rasional bahkan spiritual dalam dirinya. Manusia menghadapi keaneka ragaman dalam dirinya dan pada saat yang sama ia hidup dalam masyarakat dimana ia menjadi bagian dan melakukan kontak serta hubungan yang tidak terbatas dengan anggota masyarakat lain. Kegiatan ini yang menjadi norma tindakan dan eksistensi dalam kondisi manusia tidak dapat diintegrasikan dan tidak mempunyai makna kecuali dalam syari’ah. Hukum tuhan adalah jaringan aturan dan sikap yang mengatur kehidupan manusia dan didalam totalitas serta sifatnya yang mencakup segala hal, mampu mengintegrasikan manusia dan masyarakat menurut prinsip yang dominan dalam Islam, yaitu unitas atau tauhid, syari’ah adalah cara dengan mana unitas dapat diciptakan dalam kehidupan manusia.
Penerapan syari’ah Islam pada faktanya bukanlah masalah sederhana, didalamnya terdapat percaturan yang hingga kini belum terpecahkan. Dikalangan ulama sendiri misalnya, masih terjadi perdebatan mengenai apa yang dimaksud dengan syari’ah dan bagaimana bentuk kongkrit rumusan syari’ah itu. seperti halnya yang terjadi di Indonesia sering kita dapati antar golongan saling tuding dan klaim kebenaran atas golongannya sendiri, sehingga syari’ah Islam bukan menjadi jalan tengah untuk menyatukan umat akan tetapi karena perbedaan dalam penafsiran terhadap sumber pokok ajaran menimbulkan perpecahan dan konflik. Akan tetapi dengan mengenyampingkan berbagai keruwetan diseputar definisi dan rumusan syari’ah, masalah yang muncul adalah akankah asumsi tentang penegakan syari’ah secara struktural itu benar atau sebaliknya? untuk itu disini penulis akan mencoba mencermati dan memaparkan tentang diskursus syari’ah Islam yang terjadi di Indonesia.
B. KONFLIK DALAM AGAMA
Apa yang dimaksud syari’ah Islam banyak kita jumpai dalam sumber – sumber rujukan Islam, akan tetapi definisi yang sering kita temukan tidak selalu sama dengan apa yang terdapat dalam sumber utama Islam. Dalam tradisi kesarjanaan muslim, hukum Islam dipandang bermula dengan pewahyuan al-Qur’an dan sunnah Nabi. Oleh karena itu sumber materil syari’ah adalah al-Qur’an dan sunnah nabi. Intruksi – intruksi spesifik dari dua sumber tersebut kemudian diperluas dan dikodifikasikan kedalam fiqih oleh para yuris dengan menggunakan peralatan – peralatan interpretatif atau sumber – sumber prosedural syari’ah seperti Qiyas, ijma’ maupun maslahah dan sebagainya.
Dari interpretatif tersebut akhirnya muncul sekelompok orang yang mendefinisikan syari’ah Islam pada aspek – aspek ibadah saja. Sebagai hukum Tuhan, syari’ah menepati posisi paling penting dalam masyarakat Islam. Sebagian umat Islam lainnya meyakini syari’ah mencakup seluruh aspek kehidupan manusia, baik secara indifidual maupun kolektif. Pada umumnya yang dianggap syari’ah Islam ialah dimensi ritual saja dari ajaran Islam.
Khaled Abou El Fadl, guru besar hukum Islam di UCLA School of Law, Amerika Serikat, dalam salah satu karyanya yang menawan, ATAS NAMA TUHAN: Dari Fikih Otoriter ke Fikih Otoritatif (terjemahan dari Speaking in God's Name: Islamic Law, Authority, and Women [Serambi 2004]), menegaskan bahwa Syariah bukan semata perintah - perintah positif ( ahkam ), tetapi juga terdiri atas tujuan ( maqashid ), prinsip ( qawa’id), dan metodologi analisis dan pemahaman ( ushul fiqh ). Artinya, hukum Tuhan disisi yang lain adalah juga sebuah epistemologi dan metodologi. Namun demikian, Abou El Fadl menengarai bahwa sekarang ini orang - orang banyak mengidentikkan hukum Tuhan dengan ketentuan - ketentuan positif ( ahkam ) sehingga etos hukum Tuhan itu menjadi terancam.
Seperti halnya syari’ah menurut Abou El Fadl ada beberapa kelompok atau organisasi yang sering membicarakan tentang kembali kepada sunnah Rosulullah dan tinggalkan bid’ah dalam rangka penegakan syari’ah, ternyata ia hanya mengutak – atik ibadah mahdhah saja. Yang termasuk sunnah rosulullah yang dibicarakan hanya thaharah, sholat, puasa, haji, mengurus jenazah, dan berdo’a, akan tetapi tidak meliputi sistem politik, ekonomi, serta sistem sosial seperti yang dicontohkan nabi. Mereka ribut tentang bid’ah dalam qunut subuh akan tetapi melakukan bid’ah dalam urusan mu’amalah seperti halnya memutus silaturrahmi dengan sesama muslim. Mereka menghabiskan waktu bertahun – tahun untuk membahas sunnah dan bid’ah saja.
Disaat yang bersamaan sebaliknya, kelompok lain memasukkan tradisi – tradisi lain, komponen – komponen kultural tertentu, upacara – upacara pribumi kedalam syari’ah Islam, dan mengeluarkan banyak hal dari dalamnya semisal sosio-politik dan sebagainya. Ketimpangan ini menimbulkan beberapa hal yang menggelikan. Dimana umat Islam lebih cenderung pecah karena perbedaan cara ibadah dari pada karena perbedaan perspektif sosial.
Perbedaan ibadah ini bahkan kemudian disosialkan dan diidiologikan. Fiqih mazhab misalnya dijadikan trademark golongan. Partai Islam juga dibentuk berdasar perbedaan fiqih, dan bukan perbedaan program pembangunan. Dibeberapa kampung dibuat masjid berdampingan dengan masjid lama hanya karena perbedaan adzan jum’at. Akibatnya seperti apa yang dikatakan oleh syaikh al-Ghazali dan sayyid Qutub yaitu kita hanya bertengkar dalam urusan ibadah sementara satu demi satu bidang kehidupan diambil oleh musuh – musuh Islam, sedangkan syari’ah yang diturunkan dan diajarkan oleh Rosullah kepada umatnya tidak hanya berkaitan dengan ibadah mahdhah saja sebagaimana tergambarkan dalam kehidupan nabi dalam urusan muamalah.
C. ISU PENERAPAN SYARI’AH ISLAM DI INDONESIA
Orang – orang yang berlainan agama dengan Islam dan juga orang – orang ateis telah melemparkan tuduhan terhadap agama Islam, mereka menuntut dan menantang kaum muslimin agar memunculkan sisi universalitas ajaran Islam disegala dimensi kehidupan, termasuk konsep ekonomi dan konsep politiknya. Sebab menurut asumsi mereka, dunia saat ini telah berkembang pesat dan memasuki abad XXI M. Disetiap kesempatan mereka selalu mendengungkan slogan - slogan kesesata mereka, seperti “tidak ada kaitan antara agama dengan urusan politik, dan tidak ada kaitannya politik dalam urusan agama”. “agama bagi Allah, dan negara untuk semua”. Serta slogan “agama hanyalah hubungan antara indifidu dengan Tuhannya”, artinya jika manusia memang dituntut harus tetap beragama, maka keberagamaan itu hanya sebatas didalam ruang lingkup masjid (urusan dengan tuhannya). Mereka berusaha secara maksimal untuk mengekang syiar – syiar agama, dan bagi mereka harus ada idiologi yang menggantikan agama Allah. Oleh sebab itu, mereka selalu mengkampanyekan demokrasi, yang prinsip dasarnya adalah kekuasaan berada ditangan rakyat dan untuk rakyat.
Bila kita menengok pada sejarah awal – awal Islam yaitu pada masa pemilihan khalifah ( Khulafa Rasyidun ) memang mereka di bai’at masyarakat di mesjid, tetapi mereka diangkat tidak selalu melalui pemilihan. Kalau kita tengok kembali peristiwa pembaiatan Abu Bakar, Umar, Usman, kita akan menemukan secara jelas maknanya yang hakiki: orang – orang berkumpul, lalu memilih seorang kholifah, dan berikutnya mereka datang bersama – sama membai’atnya. Tak satupun diantara kholifah yang memiliki kekuasaan legislatif, sebab kekuasaan legislatif hanya diberikan kepada para Qadli (hakim), dengan demikian para kholifah hanya memiliki kekuasaan eksekutif, sebagaimana dalam sistem demokrasi.
Kalau kita hendak mengetahui sistem pemerintahan Islam, kita harus kembali kepada prinsip – prinsip utama yang telah ditetapkan dan yang dijadikan sebagai landasan kehidupan manusia. Manakala kita sudah mengetahui dan mencamkan prinsip – prinsip tersebut, tidak ada lagi keraguan bahwa sesungguhnya Islam dan demokrasi sinkron dalam semua hal yang esensial. Setiap sistem yang tidak berdiri diatas prinsip – prinsip demokrasi adalah tidak sesuai dengan kaidah – kaidah utama yang ditetapkan dan diserukan oleh Islam. Dengan demikian sebenarnya slogan – slogan yang dikeluarkan kelompok – kelompok non muslim yang tidak setuju dengan penerapan syari’ah dalam negara bisa dikatakan tidak benar dan terbantahkan hal itu dapat kita lihat dalam pendapat husein haikal diatas.
Sekalipun yang lebih penting sebenarnya bagaimana menjadikan syari’ah Islam itu mensejahterakan masyarakat banyak, bukan membuat sengsara, mengekang dan menimbulkan sifat - sifat munafik. Oleh sebab itu, sebelum memberlakukan Syari’ah Islam di negeri ini, ada baiknya dilakukan terlebih dahulu mencari dan merumuskan berdasarkan isi kandungan kitab suci dan Hadits Nabi yang memang benar - benar memiliki visi kemanusiaan, bukan sebaliknya, Syari’ah Islam terkesan “menjerat manusia”, bahkan yang membuat jeratan adalah sesama manusia sendiri.
Visi kemanusiaan inilah yang lebih penting ketimbang formalisasi syari’ah, namun nihil dalam kemanusiaan. Formalisasi syari’ah dikhawatirkan menyebabkan syari’ah Islam tidak lagi mencerminkan kesatuan sosial, pembelaan terhadap kaum dhu’afa, bahkan syari’ah Islam ibarat pemburu berdarah dingin sehingga orang beragama harus kucing – kucingan dengan sesama orang Islam itu sendiri, yang pada akhirnya hukum yang berkaitan dengan dosa dan pahala, boleh tidaknya masuk surga berada ditangan kuasa hukum manusia, tidak lagi ditangan tuhan.
Dari adanya gerakan – gerakan yang menuntut pemberlakuan syari’ah Islam di Indonesia memperlihatkan adanya asumsi bahwa reformasi terhadap masyarakat Islam atau Islamisasi dapat berlangsung dengan hukum, institusi, dan instrumen negara. Demikian penerapan syari’ah Islam dipandang sebagai obat mujarab untuk mengatasi segala macam problem yang dihadapi daerah – daerah seperti kriminalitas, prostitusi ataupun permasalahan yang dihadapi bangsa indonesia.
Tetapi, sebagaimana yang telah terjadi di Indonesia dalam arena politik pada masa Majelis Konstituante dan era reformasi dimana isu penerapan syari’ah yang digulirkan dan mulai diundangkan dalam peraturan daerah memicu banyak kontroversi. Selain pemerintah sendiri, NU, muhamadiyah, dan berbagai lembaga swadaya masyrakat (LSM) melakukan penentangan keras terhadap isu pemberlakuan syari’ah tersebut.
Salah satu LSM yang paling sistematis melakukan counter wacana terhadap isu penerapan syari’ah Islam di Indonesia adalah Jaringan Islam Liberal (JIL). Kelompok ini mewacanakan penafsiran yang liberal atas Islam dengan wawasan – wawasan:
• Keterbukaan pintu ijtihad pada semua bidang.
• Penekanan pada semangat religio etik, bukan pada makna literal sebuah teks.
• Kebenaran yang relatif, terbuka dan plural.
• Pemihakan pada yang minoritas dan tertindas.
• Kebebasan beragama dan berkepercayaan.
• Pemisahan otoritas duniawi dan ukhrawi, otoritas keagamaan dan politik.
D. KESIMPULAN
Isu tentang formalisasi hukum Islam dalam wilayah kehidupan bernegara semakin menenggelamkan diskursus tentang etos dan moralitas Syariah. Perbincangan dikerahkan habis-habisan hanya untuk menimbang keuntungan dan kerugian dari langkah formalisasi tersebut. Situasi ini diperkental dengan perang jargon di berbagai media yang terkadang tiba pada level klaim yang mengeras dan sulit dicairkan dengan pikiran jernih. Yang mengenaskan, di bagian akhir perdebatan, muncul stigma buruk kepada mereka yang menolak formalisasi tersebut.
Menurut penulis perlu difahami bahwa syariah adalah sebagai sebuah metodologi yang membutuhkan perangkat dasar nalar (‘aql ) yang jernih dan berlandaskan ketulusan, intuisi ( fithrah ) yang peka membaca karakter dasar manusia, eksplorasi tentang kategori baik dan buruk ( husn dan qubh ), dan mungkin juga keterbukaan terhadap khazanah keilmuan yang lain untuk dapat terus menghidupkan dimensi moral yang termuat di dalam suatu aturan hukum. Ditambah dengan perangkat dan bahan - bahan dasar yang lain, seperti khazanah ulama Islam klasik yang begitu canggih dan melimpah, semua itu dipadukan dalam pandangan nilai - nilai Syariah yang bersifat mendasar. Tapi tentu ini harus dilakukan dengan tetap menjaga integritas teks - teks primer yang validitas dan otoritasnya diakui.
Sehingga pada saatnyalah diskusi tentang Syariah digeser ke level yang lebih luas dan mendalam, menuju suatu titik perbincangan yaitu menempatkan Syariah sebagai sebuah metodologi untuk menjalani kehidupan yang penuh perenungan demi mencari hukum Tuhan serta sebagai proses pembuktian dan penyeimbangan nilai - nilai pokok Syariah dalam mencapai sebuah kehidupan yang bermoral. Sikap dasar yang diperlukan adalah keterbukaan, kesungguhan, dan ketulusan hati, untuk memulai perbincangan tentang hal tersebut tanpa klaim - klaim yang menyudutkan dan bersifat apriori. Dengan landasan sikap dan sejumlah perangkat tersebut di atas, formalisme dan positivisme dapat ditelanjangi dan dilucuti pembenarannya, sehingga sikap keberagamaan kita semakin bening, tulus dan fitri.
Yang pada akhirnya Syari’ah Islam tidak hanya dibentuk oleh apa yang disebutkan oleh al-Qur’an dan sunnah, dan apa yang telah ditetapkan konsensus dan ijtihad sahabat, namun ia juga mencakup apa yang ditetapkan oleh para ahli fiqih yang berijtihad sepanjang masa, dan juga apa yang ditetapkan oleh ahli fiqih yang berijtihad dimasa – masa yang akan datang. Karena itu tak ada artinya mengatakan bahwa syari’ah Islam telah diterapkan secara sempurna dimasa ini atau masa lalu.
Karena syari’ah Islam disebabkan ia merupakan syari’ah untuk semua masa dan periode, maka para mujtahid berkewajiban untuk menemukan solusi berdasarkan syari’ah atas semua perkembangan baru dimasa depan. Sehingga lebih tepat bila dikatakan syari’ah terus menerus menyempurnakan diri (innaha taktamilu bistimrar) atau “bahwa perkara ini memang seharusnya demikian”. Wa Allâh a’lam bi al-shawâb.
Daftar Pustaka
M. Amin Rais, Islam di Indonesia; Suatu Ikhtiar Mengaca Diri, Jakarta: Raja Grafindo Persada,1996.
Said Abdul Azhim, Ibnu Taimiyah: Pembaruan Salafi dan Dakwah Reformasi, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2005.
Muhammad Husein Haikal, Al-hukumatul Islamiyah. Terj, Pemerintahan Islam, jakarta: Pustaka firdaus, 1993.
Muhammad Abid al-Jabiri, Agama, Negara Dan Penerapan Syari’ah, Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2001.
Sayyed Hosein Nasr, Ideals And Realities Of Islam, terj Abdurrahman Wahid dan Hasyim wahid, Islam Antara Cita dan Fakta, Yogyakarta: PUSAKA, 2001.
Taufiq Adnan Amal dan Samsul Rizal Panggabean, Politik Syari’ah Islam; Dari Indonesia Hingga Nigeria, Jakarta: Pustaka Alvabet, 2004.
Zuly Qodir, Syariah Demokratik: Pemberlakuan Syari’ah Islam di Indonesia, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004
Islam dan demokrasi
ISLAM DAN DEMOKRASI
TELAAH KARYA MUHAMMAD HUSEIN HAIKAL
(1888 – 1956M)
A. Pendahuluan
Islam telah didiskreditkan dalam dua hal, pertama yaitu ketika dibandingkan dengan demokrasi, dan kedua ketika dikatakan bahwa Islam bertentangan dengan demokrasi. Karena membandingkan antara keduanya merupakan hal yang salah, seperti halnya menganggapnya saling bertentangan juga salah. Inilah masalah yang perlu klarifikasi dan penjelasan.
Dari segi metode, perbandingan antara kedua hal diatas tidak bisa dibenarkan, karena Islam merupakan risalah yang mengandung asas – asas yang mengatur ibadah, akhlak, dan muamalah manusia. Sedangkan demokrasi hanya sebuah sistem pemerintahan dan mekanisme kerjasama antara anggota masyarakat serta simbol yang membawa banyak nilai – nilai positif.
Benar bahwa dalam konsep demokrasi banyak terdapat masalah yang dapat dijadikan perbandingan, tetapi dimensi peradaban bagi akidah harus benar – benar jelas. Dengan pertimbangan bahwa Islam memiliki konsep peradaban yang sepesifik, sedangkan demokrasi hanya merupakan bagian dari konsep peradaban inkonsisten.
Perbedaan ini tidak sepatutnya diartikan sebagai perlawanan atau permusuhan, karena masih terdapat beberapa keserasian pada sebagian nilai – nilai pokok dan ideal, tetapi hal itu harus dipahami dalam sudut variasi dan diferensiasi. Pada tingkatan lain, seseorang tidak mempunyai pilihan lain kecuali menetapkan bahwa masalahnya secara global diwarnai oleh beberapa kerancuan – kerancuan kecil dan bervariasi. Inilah masalah dimana para pengkaji harus menerobos hasil pemikiran – pemikiran menuju pada pengungkapan letak – letak kerancuan, serta mengupas unsur – unsur permasalahan dan meletakkannya pada porsi yang sebenarnya.
Sebagian orang tidak memandang demokrasi sekarang ini sebagai sistem pemerintahan yang berlandaskan pada kebebasan, kerjasama politik, pluralisme tetapi memandangnya sebagai rumusan bagi konsep barat yang memperburuk citra bangsa arab dan kaum muslim. Paling tidak media informasi di barat menampakkan permusuhan kepada Islam. Dengan demikian tidak diakuinya demokrasi versi barat ini tidak dapat dianggap sebagai penolakan terhadap demokrasi itu sendiri, tetapi pada hakikatnya penolakan tersebut berdasarkan pada konsep yang disodorkan. Untuk itu dalam pembahasan ini penulis akan coba menelusuri konsep demokrasi dalam Islam menurut Muhammad Husein Haikal yaitu salah seorang tokoh westernisasi, dimana ia pernah menulis konsep negara.
B. Riwayat Hidup Husein Haikal
Muhammad Husein Haikal dilahirkan pada tanggal 30 agustus 1888 di desa Kafr Ghanam wilayah Mesir hilir, sekitar 140 km dari Kairo dan hanya beberapa kilometer dari desa Barqain, yaitu tempat dilahirkannya Lutfi Sayyid yaitu seorang tokoh nasionalis terkemuka Mesir yang dikemudian hari merupakan guru yang besar pengaruhnya pada pembentukan kepribadian, pandangan hidup dan orientasi politik Haikal, dan juga merupakan kawan seperjuangan. Haikal lahir dari keluarga berada, terpandang dan berpengaruh di desa dan kawasan sekitarnya. Pada tahun 1946 Haikal mencoba memberikan gambaran tentang betapa bahagianya kehidupan dimasa kecilnya dalam satu karangan pendek berjudul Hidup Itu Penuh Cinta Kasih.
Semasa menerima pendidikan sekolah dasar Haikal dikirm ke Kairo belajar di sekolah Al-Jamaliah, dan tamat pada tahun 1901. Kemudian untuk pendidikan sekolah menengah ia pindah kesekolah Al-Khedewiyah dan lulus pada tahun 1905. Dia bermaksud meneruskan belajar keperguruan tinggi teknik di Inggris, pada waktu itu kakek Haikal, Salim meninggal dunia dan diantara yang datang melayat adalah Lutfi Sayyid, guru Haikal yang sepuluh tahun lebih tua darinya. Ditempat melayat berlangsung pembicaraan antara Sayyid dan Haikal mengenai kelanjutan pendidikan Haikal, dan Sayyid berhasil membujuknya agar tidak mengambil teknik dan sebaliknya mengambil jurusan hukum di sekolah tinggi hukum Kairo dengan janji bahwa setelah lulus dari sekolah tinggi hukum nanti ayahnya akan mengirimnya keluar negeri untuk mengambil gelar doktor. Dari sinilah Lutfi Sayyid mulai ikut mengarahkan hari depan Haikal.
Pada tahun 1909 Haikal lulus dari sekolah tinggi hukum, kemudian pergi ke Paris dan mengikuti pendidikan pascasarjana di Sorbone. Pada tahun 1912 dia meraih gelar doktor dalam ilmu hukum, dan merupakan putra Mesir pertama yang menyandang gelar kesarjanaan seperti itu. sepulang dari Mesir Haikal membuka kantor pengacara di Al-Mansurah, serta masih meneruskan kegemarannya menulis untuk majalah diantaranya majalah Al-Jaridah, setelah majalah al-Jaridah ditutup bergabung dengan majalah mingguan Al-Sufur.
Seusai perang dunia I rakyat Mesir bergolak menuntut kemerdekaan penuh dari Inggris, dan bermunculan partai – partai politik. Pada tahun 1922 muncul partai baru Al-ah-rar Al-Dusturiyin yang berhaluan moderat Haikal pun masuk menjadi anggota partai, dan atas usulan Lutfi Sayyid kepada pimpinan partai Haikal dipercaya memimpin surat kabar harian Al-Siyasah yang merupakan organ partai, yang akhirnya Haikal meninggalkan profesinya sebagai pengacara dan pindah profesi jurnalistik sekaligus memasuki kancah politik kepartaian.
Setelah lama menjadi jurnalistik pada tanggal 31 desember 1937 Haikal meninggalkan profesi jurnalistik dan pindah kepemerintahan ketika dia diangkat sebagai mentri negara urusan dalam negeri. Jabatan menteri dalam negeri dirangkap oleh perdana menteri. Pada tahun berikutnya, 1938 saat dibentuk pemerintahan baru Haikal mendapatkan tawaran menduduki jabatan menteri dalam negeri, tetapi ia menolak dengan alasan Lutfi Sayyid lebih tepat dengan jabatan itu, sedangkan ia lebih memilih menduduki jabatan menteri pendidikan. Sejak itulah ia hampir tidak pernah putus menduduki kursi kabinet sebagai menteri pendidikan sampai tahun 1945. Tahun itu Haikal meninggalkan kabinet dan pindah jabatan sebagai ketua senat.
Setelah revolusi juli 1952 Haikal sama sekali mundur dari pentas politik, dan menghabiskan waktunya untuk membaca dan menulis sampai wafat dalam usia 68 tahun pada 8 desember 1956. Sehingga kalau kita lihat masa selama hayat Haikal yaitu antara 1888 – 1956M mengalami empat kali perubahan pemerintahan di Mesir, yaitu:
1) Monarchi absolut yaitu pemerintahan masa Khedif Taufiq (1879-1892), dan Khedis Ismail (1879-1917).
2) Monarchi absolut yaitu pada masa Raja Fu’ad I (1917-1936).
3) Monarchi konstitusional pada saat pemerintahan Raja Faruq (1936-1952).
4) Republik mesir “Revolusi juli 1952 revolusi perwira muda” pimpinan Najib dan Gamal Abdul Nasir.
C. Karya Karya Husein Haikal
Tulisan Husein Haikal tentang negara Islam meliputi dasar - dasar tata politik, ekonomi dan sosial terbesar dalam tulisan makalahnya sekitar tahun 1942. Tulisan - tulisan tersebut belum sempat terbukukan sampai beliau wafat 1958. Baru pada tahun 1961 atas usaha putranya Ahmad MH Haikal SH makalah - makalah tersebut diterbitkan dalam sebuah buku dalam judul ”al-Ambrathuriyah al-Islamiyah wa al-Amakin al-Muqaddasah fi al-Syarg al-Ausath” ( imperium Islam dan tempat - tempat suci di timur tengah ). Buku tersebut pada tahun 1983, dibagi dua. Salah satu bagiannya berjudul al-Hukumah al-Islamiyah ( pemerintahan Islam ). Dari judul yang baru itulah pemikiran Haikal tentang negara Islam menjadi buku sendiri.
Selain al-Hukumah al-Islamiyah Haikal juga menulis karangan lain seperti Hayatu Muhammad (1935), Fi Mangzili al-Wahyi (1936), al-Syarik al-Jadid, al-Shiddiq Abu Bakar (1945), al-Faruq Umar bagisn I (1944), bagian II (1945), dan juga menulis tentang Usman bin Affan yang diterbitkan setelah Haikal meninggal.
Selain menulis buku Muhammad Husein Haikal juga pernah menjadi pemimpin redaksi harian “Siyasah” Ia termasuk tokoh westernisasi yg menonjol. Ia dikenal sebagai seorang yg mengingkari peristiwa Isra’ dan Mi’raj baik dengan ruh ataupun dengan jasad. Pengingkarannya itu bertolak dari pandangan rasionalistik. Tetapi kemudian dia dinilai berubah sikap menjadi sangat moderat. Dalam kata pengantar buku “Fi Manzili al-Wahyi” ia mengungkapkan orientasi barunya di dalam pemikiran Islam.
D. Pemikiran Demokrasi Husein Haikal
Kebangkitan Islam dan demokratisasi didunia muslim berlangsung dalam konteks global yang dinamis. Diberbagai belahan dunia, orang – orang beramai – ramai menyerukan kebangkitan agama dan demokratisasi sehingga keduanya menjadi tema yang paling penting dalam persoalan dunia dewasa ini. Menguatnya identitas komunal dan tuntutan terhadap partisipasi politik rakyat muncul dalam lingkungan dunia yang begitu kompleks ketika teknologi semakin memperkuat hubungan global, sementara pada saat yang sama identitas lokal, nasional, dan budaya lokal masih sangat kuat.
Bagi kebanyakan orang barat, konsep “Demokrasi Islam” merupakan suatu anatema. Pendapat ini memustahilkan untuk memahami daya tarik dan kekuatan gerakan – gerakan Islam. Mengingat demokrasi merupakan konsep yang pada dasarnya masih diperdebatkan, penting dipahami bagaimana persepsi demokrasi dikalangan gerakan kebangkitan Islam belakangan ini. pemahaman ini penting bahkan yang memandang kebangkitan Islam sebagai ancaman, sebab kelompok ini perlu juga memahami keragaman definisi tentang demokrasi.
Syafi’i Maarif mengawali tinjauannya dengan mengemukakan tesis bahwa pada dasarnya syura merupakan gagasan utama dalam al-Qur’an. Jika konsep syura itu ditransformasikan dalam kehidupan moderen sekarang ini, maka menurut Syafii sistem politik demokrasi adalah lebih dekat dengan cita – cita politik Qur’ani, sekalipun ia tidak identik dengan praktek demokrasi barat. Tesisnya ini terutama didasarkan pada pandangan dua tokoh yang sangat dikaguminya, yakni filasuf pujangga Mohammad Iqbal dan gurunya di universitas chicago Fazlur Rahman.
Menurut Haikal, di dalam Al-Qur’an dan sunnah tidak terdapat prinsip - prinsip dasar kehidupan yang langsung berhubungan dengan ketatanegaraan. Menurutnya kehidupan bernegara bagi umat Islam itu baru dimulai pada waktu nabi berhijrah dan menetap di Madinah. Ayat tentang musyawarah misalnya tidaklah diturunkan dalam kaitan sistem pemerintahan. Banyak orang menampilkan topik ini dan mereka cenderung berpegang pada sebagian ayat al-Qur’an, seperti (QS; ali imaran:159) “dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu”. (QS; Asy syura:38) “sedangkan urusan mereka dimusyawarahkan diantara mereka” hanya dua ayat tersebut diatas yang mereka pegang untuk memperkuat pendapatnya.
Didalam Al-Qur’an juga tidak secara tegas dan langsung menyebutkan sistem pemerintahan tertentu. Karenanya, tidak aneh bila empat khalifah periode awal Islam ( Khulafa Rasyidun ) memang di bai’at masyarakat di mesjid, tetapi mereka diangkat tidak selalu melalui pemilihan. Kalau kita tengok kembali persitiwa pembaiatan Abu Bakar, Umar, Usman, kita akan menemukan secara jelas maknanya yang hakiki: orang – orang berkumpul, lalu memilih seorang kholifah, dan berikutnya mereka datang bersama – sama membai’atnya. Taksatupun diantara kholifah yang memiliki kekuasaan legislatif, sebab kekuasaan legislatif hanya diberikan kepada para Qadli (hakim), dengan demikian para kholifah hanya memiliki kekuasaan eksekutif, sebagaimana dalam sistem demokrasi. Nabi sendiri bahkan membiarkan sistem pemerintahan Arab asalkan menerima baik agama yang dibawanya.
Kalau kita hendak mengetahui sistem pemerintahan Islam, kita harus kembali kepada prinsip – prinsip utama yang telah ditetapkan dan yang dijadikan sebagai landasan kehidupan manusia. Manakala kita sudah mengetahui dan mencamkan prinsip – prinsip tersebut, tidak ada lagi keraguan bahwa sesungguhnya Islam dan demokrasi sinkron dalam semua hal yang esensial. Setiap sistem yang tidak berdiri diatas prinsip – prinsip demokrasi adalah tidak sesuai dengan kaidah – kaidah utama yang ditetapkan dan diserukan oleh Islam.
Namun demikian, sejauh yang bisa kita baca dari sumber - sumber Islam, paling tidak ada 3 prinsip dasar peradaban manusia termasuk politik. Pertama, prinsip monotheisme murni. Kedua, prinsip sunnah ( hukum ) Allah yang tidak pernah berubah, dan ketiga, persamaan antar manusia sebagai konsekuensi prinsip pertama dan kedua. Realisasi prinsip - prinsip itu diwarnai oleh semangat persaudaraan, persamaan, kebebasan, cinta kasih, rasa keadilan, dan juga taqwa.
Oleh karena itu, sebaiknya kita kembali pada prinsip – prinsip umum Islam. Dengan demikian kita tahu makna sejati dari ayat – ayat al-Qur’an. Dan dengannya juga menjadi jelas bahwa sesungguhnya sistem pemerintahan yang berdasarkan permusyawaratan model Islam harus dapat mewujudkan kebebasan persaudaraan dan persamaan bagi manusia sebanding atau bahkan melebihi dari yang dapat diberikan oleh sistem - sistem demokrasi dalam pengertian sekarang.
Husain Haikal berpendapat bahwa meskipun Islam tidak memberikan preferensinya pada suatu sistem politik tertentu, tetapi Islam telah meletakkan seperangkat prinsip atau tata nilai etika dan moral politik. Seperangkat tata nilai tersebut berfungsi untuk digunakan sebagai anutan umat Islam dalam membina kehidupan bernegara.
Prinsip – prinsip politik tersebut menurut Haikal adalah; 1) Tauhid, yang dengannya berkembang prinsip – prinsip dasar persamaan, persaudaraan dan kebebasan (equality, solidarity, and liberty). Dengan demikian kekuasaan negara tidak muqadas. 2) penyelenggaraan negara melalui Syura, suatu badan atau lembaga yang mengangkat kepala negara dan kebijaksanaannya agar sesuai dengan persetujuan rakyat. 3) rakyat dapat mengawasi jalannya pemerintahan. 4) Kepala negara bertanggung jawab kepada rakyat.
Untuk mencapai keadaan tersebut, Haikal memberikan kebebasan kepada umat Islam untuk memilih sistem manapun, asal prinsip – prinsip tersebut dijamin dapat terpenuhi. Hal senada juga pernah dilakukan nabi pada bangsa Arab yaitu nabi membiarkan sistem pemerintahan yang ada asalkan menerima baik agama yang dibawanya.
E. Kesimpulan
Setelah melihat uraian yang telah penulis paparkan diatas bahwasannya konsep demokrasi yang selama ini dianggap sebagai konsep negara yang bersumber dari barat dan itu berseberangan dengan konsep Islam tidaklah benar, sebagaimana yang telah dilakukan pada masa khulafa’ ar-rasyidun yang mana dalam pengangkatannya atas dasa pembaiatan rakyat dan bahkan dengan jelas dalam pidatonya Abu Bakar stelah dibaiat beliau menyatakan apabila beliau berada dalam syari’ah maka rakyat hendaklah mengikutinya dan apabila menyeleweng dari syari’at Islam maka rakyat berkewajiban untuk mengingatkannya, dan hal seperti itu mirip dengan konsep demokrasi yang selama ini dianggap bersumber dari barat.
Daftar Pustaka
A. Syafii maarif, Islam, Politik dan demokrasi di Indonesia, dalam Bosco carvallo dan dasrizal hlm.47-55.
Huwaydi, Fahmi. Demokrasi Oposisi, dan Masyarakat Madani. Bandung: Mizan, 1996.
http://blog.re.or.id/westernisasi.htm
http://www.wawasandigital.com/index.php?option=com_content&task=view&id=12007&Itemid=62
John L. Esposito dan John O. Voll, Demokrasi di Negara – Negara Muslim. Bandung: mizan, 1999.
Muhammad Husein Haikal, Al-hukumatul Islamiyah. Terj, Pemerintahan Islam, jakarta: Pustaka firdaus, 1993
Muchotob Hamzah, Menjadi politisi Islam (fiqih Politik), (yogyakarta; gama media,2004).hlm.50-51.
Sjadzali, Munawir. Islam dan Tata Negara: Sejarah dan Pemikiran. Jakarta: UI-Pres, 1993.
hak asasi kaum wanita
KAUM MUSLIMIN DAN WACANA ILAHI
(HAK HAK ASASI MANUSIA ANTARA IDEALITAS DAN REALITAS)
1.Pendahuluan
Saat ini, wacana kajian agama Islam tidak lagi hanya dilihat dari sudut normativitas belaka yang terkait dengan wahyu, tetapi juga dilihat dari sudut historisitas dan interpretasi orang secara individu ataupun kolektif terhadap norma agama yang dianutnya. Kajian ini berangkat dari kenyataan bahwa pada dasarnya bangunan peradaban Islam sesungguhnya merupakan hasil akumulasi pergumulan umat Islam saat berhadapan antara normativitas wahyu dan historisitas pengalaman manusia sepanjang sejarah dimuka bumi yang selalu berubah.
Setudi agama dengan pendekatan historis ini menjadi alternative lain selain pendekatan tekstual. Implikasi dari kajian bentuk ini adalah munculnya pemahaman baru terhadap ajaran agama dan munculnya kesadaran baru tentang pentingnya reinterpretasi terhadap bangunan pemahaman keagamaan dalam berbagai hal, termasuk dalam pola hubungan ( relasi ) laki – laki dan perempuan.
Dari hubungan relasi tersebut akhirnya akan tampak hak – hak asasi manusia, laki – laki dan perempuan, karena kita melihat bahwa masyarakat yang tidak menanamkan secara luas. Nilai kebebasan dan penghormatan terhadap hak – hak orang lain tidak akan mampu memperbaiki konsep – konsep dan hukum – hukumnya sejalan dengan perubahan sejarah dan masyarakat, dan selaras dengan prinsip – prinsip yang menjadikan capaian – capaian kelompok terlemahkan sebagai kekuasaan seristensi dan kelangsungan hidup.
Suatu masyarakat, seperti masyarakat Arab yang melawan kezaliman, eksploitasi, dan diskriminasi serta menghadapi kekuatan Israel beserta seluruh politik penyerobotan teritorial yang dilakukannya, atau kekuatan Amerika yang menentukan sebagaimana yang disaksikan seluruh Negara diDunia, seluruh resolusi PBB kecuali yang berkaitan dengan Israel, dalam konteks perlawanan ini mereka dituntut menegaskan penguatan hak – hak asasi manusia sebagai hal yang asasi dalam wacananya. Dan itu merupakan posisi untuk puas dan menyerah jika diinginkan. Sebagaimana yang dilakukan oleh beberapa pemerintah. Juga tidak seperti yang dilakukan oleh para penganjur eksklusifisme dalam memutlakkan wacana radikal dari mereka yang mengklaim berbicara atas nama Islam dan bersandar pada teks – teksnya yang mereka interpretasikan sesuka hati dengan berpijak pada horizon yang sempit, yang sampai pada kita dalam berbagai fase yang didalamnya para sultan, amir, dan penguasa menjalankan kekuasaan dengan memproduksi teks – teks yang dipergunakan untuk menancapkan hegemoni dan menjastifikasi kekuasaannya.
Dengan gencar pembelaan terhadap hak – haka asasi manusia, tema hak – hak asasi perempuan muncul. Oleh karena itu disini kita akan mendiskusikan tentang hak – hak asasi manusia secara umum, dan selanjutnya nanti akan kita bahas tentang hak – hak asasi perempuan. Disini analisis secara mendasar akan ditekankan pada dimensi manusia dalam wacana Islam, yakni pada metode – metode yang dipergunakan oleh kaum Muslim dalam memahami wacana Tuhan, dengan harapan akan berakhir dengan penyajian suatu gambaran tentang kedudukan manusia dan hak – hak perempuan dalam pikiran Islam.
2.Perempuan diBawah Otoritas Islam
Hak – hak asasi perempuan telah mencapai tingkat signifikansi yang tinggi diera moderen pada umumnya dan didunia Islam pada khususnya. Secara historis, perempuan selalu berada dibawah kaum laki – laki. Kaum peremuan sering dianggap sebagai makhluk second sex sebagaimana yang dijelaskan oleh Simon de Beauvoir. Namun demikian, semua kesan tersebut telah mengalami perubahan yang sangat cepat. Proses liberalisasi perempuan telah mencapai signifikan baru, khususnya setelah perang dunia II. Ada beberapa alasan yang dapat dikemukakan mengenai hal ini.
Pasca perang dunia II disebut pula era pasca industri, selama periode ini dampak industrialisasi telah kehilangan momentumnya, juga pasca perang dunia II merupakan era perang ekonomi melawan barat, karena banyak laki – laki yang menjadi korban dalam perang tersebut, maka berakibat semakin berkurangnya tenaga laki – laki yang biasa dipekerjakan. Oleh karenanya perempuanpun dipekerjakan disektor public. Sehingga mulailah sejumlah besar kaum perempuan dibebaskan dari pekerjaan “domestic” rumah tangga dan dipekerjakan disektor publik. Hal ini menyebabkan mereka mulai memahami dan menyadari setatus dan hak – haknya. Hal ini juga menyebabkan mereka tidak lagi tergantung sepenuhnya pada kaum laki – laki. Dalam hal ini kita pernah mendengar gerakan pembebasan perempuan di Eropa dan Amerika pada awal tahun 60-an.
Namun demikian pada periode berikutnya, status perempuan mulai mengalami kemunduran. Dalam konteks ini Philip Hitti mengemukakan bahwa pada periode - periode kemunduran, karena memperlakukan perempuan sebagai gundik, pemuas hawa nafsu, posisi perempuan berada pada tingkat yang sangat rendah, seperti yang kita ketahui lewat cerita rakyat Arabian Nights. Dalam cerita tersebut, perempuan direpresentasikan sebagai personifikasi kelicikan dan tipu daya dan sebagai gudang dari sentiman dan pikiran buruk.
Dengan demikian jelaslah bahwa terdapat fase – fase yang berbeda mengenai status perempuan dimasyarakat Muslim. Para teolog ortodoks memanfaatkan tradisi – tradisi tertentu untuk menjustifikasi cadar, isolasi, segregasi dan tidak diinginkannya pendidikan diantara perempuan. Mereka juga berlindung dibalik tradisi dan interpretasi tertentu terhadap ayat – ayat al-Qur’an untuk menjastifikasi hukum keluarga yang ada. Mereka berpendapat bahwa hukum – hukum Ilahiyyah ini tidak tunduk pada perubahan apapun. Menurut pandangan yang paling baik pernyataan ini adalah pandangan yang salah mengenai hukum – hukum Ilahiyyah tersebut.
Kegelisahan yang semakin memuncak dikalangan intelektual muslim khususnya dalam kasus relasi gender laki – laki dan perempuan dalam Islam memang bukannya tanpa alasan yang mendasar, baik secara dogmatis maupun paradigmatic. Bagaimana tidak, lihat saja bagaimana setiap perempuan (Islam) dibelahan bumi manapun tidak pernah mampu meloloskan diri dari jaring – jaring patriarkis yang diatasnamakan ajaran Islam, perempuan manapun yang tidak mau begitu, berarti bukanlah perempuan muslimah yang kaffah, kira – kira begitulah opini dogmatis yang tertanam dikalangan umat Islam.
Tragisnya apa yang dikarikaturkan sebagai “seperti itulah Islam” tersebut ternyata hanya memuat potret perempuan yang “taat, tunduk, dan patuh” sepenuh - penuhnya ketundukan kepada kaum laki – laki. tegasnya, mereka kemudian tak lagi ada bedanya dengan kaum budak yang harus sudi diperintah kesana kemari, begini - begitu dan semuanya dibungkus dengan ornamen - ornamen dogmatis. Perempuan menjadi tersekatkan hanya dalam konteks “dapur, sumur, kasur” dan sama sekali tak dianggap sahih untuk terlibat dalam konteks kepublikan, dari persoalan politik, ekonomi hingga social.
Persoalannya kini adalah benarkah Islam memang menghendaki potret perempuan yang seperti itu, yang senantiasa termalginalkan dan terdeskreditkan dari pentas kemanusiaan yang mengidentifikasi mereka sebagai “anak hawa”, betulkah Islam yang otentis sebagaimana ditanamkan al-Qur’an dan hadits memberikan prioritas eksistensial kepada kaum laki – laki, yang itu berarti bahwa kaum perempuan harus rela berada dalam posisi inferior dihadapan kaum laki - laki.
Sejak abad 13M pintu ijtihad ditutup secara diam – diam. Formal tak ada yang mengakui menutupnya. Dan ijtihad yang berlangsung adalah umat Islam perlu memusatkan diri pada menjaga keimanan pada Allah, baik ibadahnya maupun muamalahnya. Memang Allah berfirman bahwa “Dunia untuk kamu yang beriman dan yang tidak, dan keduanya dapat memperoleh kebaikan. Akherat untuk kamu yang beriman dengan segala kesejahteraannya. Mereka yang tidak beriman akan merugi”. Sejak abad 13M Muslim memilih kesejahteraan akherat dan meninggalkan memperoleh kebaikan dunia. Praktik memusatkan pada Allah seperti tersebut diatas oleh Hasan Hanafi disebut para Muslimin menggunakan paradigma Ilahiyyah dalam kehidupan, dan meninggalkan paradigma kemanusiaan.
3.Keberagaman Ciptaan Tuhan
Agama dan ibadah ritual berakar secara mendalam pada struktur sosial dimana agama dan ritual itu tumbuh. Tak satupun agama, bahkan agama – agama wahyu sekalipun, mengalami hal yang serupa. Al-Qur’an sendiri pun mengakui kenyataan ini, “untuk tiap – tiap umat diantara kamu, kami berikan aturan dan jalan terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu jadikan-Nya satu umat (saja) tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba lombalah berbuat kebajikan”(al-maidah; 48).
Sangat jelas dari ayat al-Qur’an tersebut diatas bahwa Allah telah menjadikan manusia berbeda – beda dengan tata cara peribadatan yang berbeda – beda pula yang dengannya, mereka harus melaksanakan kehidupan keberagaman dan kehidupan keduniawiaannya. Dengan kata lain, Allah tidak menghendaki adanya satu hukum yang seragam untuk semua manusia, baik pada masa dahulu maupun masa sekarang,. Apakah Dia berkehendak demikian, Dia hanya membuat satu umat bahkan dia berbuat sebaliknya dan menetapkan cara yang berbeda untuk orang – orang yang berbeda pula pada masa yang berbeda sehingga dia bisa mengujinya. Berdasarkan ayat tersebut diatas Maulana Abdul Kalam Azad sampai pada doktrin revolusionernya tentang kesatuan esensi ajaran agama. Dengan syariat yang berbeda – beda, yaitu hukum yang berbeda untuk umat yang berbeda, sehubungan dengan ketentuan realitas sosial temporal.
Ada hal yang sangat menarik dari ayat diatas, yaitu Allah tidak menciptakan komunitas pemeluk agama tunggal melainkan heterogen dengan tujuan untuk menguji mereka ini dilakukan dengan tujuan untuk menguji bagaimana mereka menjalankan kehidupan mereka sehingga membangun kehidupan yang berkualitas dan bersaing antara satu dengan yang lainnya dalam berbuat kebaikan dan membangun kehidupan yang damai dan berkeadilan.
Oleh karena itu kita melihat bahwa al-Qur’an dalam ayat diatas memposisikan agama dan ritual dengan pendekatan ilmiah diera moderen. Dan cara pandang ini pulalah yang harus digunakan dalam menjawab persoalan – persoalan keperempuanan dalam konteks Islam. Sisi normatif agama haruslah dipahami dalam perspektif sosiologisnya, sesuai dengan setruktur social yang ada kita akan mengelaborasi masalah tersebut dalam penjelasan berikut ini.
Dinamika sosial mengakibatkan terjadinya interaksi dialektis antara yang empiris dan yang ideologis. Oleh karena itu, hukum normative yang akan diterapkan pada suatu masyarakat haruslah memperhatikan sisi interaksi ini. Bila mana struktur sosial mencoba dirubah berdasarka suatu ideology (yang diwahyukan atau sebaliknya), maka realitas empiris benar - benar memperkuatnya. Akhirnya yang muncul ialah kedua – duanya, yang kontekstual (empiris) dan yang normative (ideologis). hukum Islam juga merupakan sintesa dari unsur – unsur yang normative dan kontekstual. Para ahli hukum Islam juga sejarawan menyoroti secara rinci praktek – praktek pra-Islam yang sebagiannya mempengaruhi praktek ajaran Islam berikutnya.
4.Manusia; Antara Pikiran dan Realitas
Melalui penyajian konsep “manusia” didalam pikiran keislaman ini, dapatlah dikatakan bahwa manusia yang disebutkan al-Qur’an dan sunnah didalam banyak teksnya tunduk pada batasan – batasan didalam bidang pemikiran, yaitu manusia “berfikir” menurut Mu’tazilah, “manusia yang arif” menurut para filsuf dan ahli tasawuf, dan manusia “yang terbebani taklif” (mukallaf) yang taat menurut para fuqaha. Didalam batasan – batasan ini manusia yang merupakan makhluk sosial yang tidak arif dan tidak taat tidaklah terpikirkan. Hal ini menyebabkan penegasian terhadap non-Muslim dan penegasian terhadap Muslim “yang tidak taat”. Lalu, jika yang terakhir ini adalah seorang yang “arif”, maka ia disebut sebagai zindik yang boleh dibunuh atau diperangi. Oleh karena itu, ketika teks itu berpindah dari idealisasi dan utopianisasi kepada bidang pemikiran, maka blok – blok pemikiran dan fanatisme – fanatisme ideologis ikut andil dalam melakukan penjarakan dan penjauhan. Dan ketika suatu pemikiran itu dipraktekkan pada permukaan realitas sosial dan politik, maka praktik penjarakan dan penjauhan itu semakin bertambah karena faktor – faktor social politik yang tersembunyi dibalik justifikasi – justifikasi keagamaan dan pemikiran.
Dalam konteks sosial, aspek politik yang dominant dan hegemonic cenderung menghasilkan aspek pemikiran untuk kepentingannya dengan menggunakan segala cara dan metode janji dan ancaman yang dipraktikkan dalam masyarakat – masarakat diktatorial dengan cara yang unik untuk menundukkan “orang yang arif” dan memasukkannnya kedalam system daftar kekuasaannya. Melalui cara itu maka sangat mudah bagi mereka untuk mengarahkan public kejalan ketaatan dan ketundukan, dan orang yang arif dan taat akan menikmati fasilitas tertinggi dan dianugerahi gelar “imam”. sementara “orang yang arif” itu membangkang untuk masuk kedalam barisan ketaatan, maka ia menjadi “zindik” yang membangkang dan keluar dari agama, sehingga ia dianiaya, dipenjara, disiksa, dan bahkan dibunuh dengan disalib, atau cukup dengan membakar buku – bukunya jika ia beruntung. Sebagi contoh, bukan untuk membatasi, disini kita dapat sebut beberapa nama seperti Ma’bad al-juhani, gailan al-Dimasyqi, ibn al-Muqaffa, al-Hallaj, ibn Rusyd, as-Suhrawardi. Sebagaimana dapat kita saksikan usaha – usaha distorsi secara terus menerus sampai sekarang terhadap aliran – aliran dan kelompok – kelompok islam yang menjadi oposisi kekuasaan resmi, seperti khawarij, syi’ah, dan Qaramitah.
Mengabaikan paradigma kemanusiaan atau mengabaikan paradigma insaniyyah membuat umat Islam lemah dalam mengurus duniawi. Lemah dan menjadi marginal, dan lebih tragis lagi tak berdaya diperlakukan tidak adil. Tampil sikap berontak pada ketidak adilan, itu viktimasi: menyalahkan fihak lain “mengapa menggunakan standar ganda”. Untuk itu perkuat diri dalam mengurus dunia, raih kemampuan menguasai iptek. Jangan mendahulukan iptek untuk counter agresi tapi dahulukan pengembangan iptek yang memberikan rahmatan lil ‘alamin. Raih penguasaan iptek, modifikasi dan kembangkan sistem ekonomi, politik, pendidikan, dan lainnya yang dapat membuat Islam kuat dalam ekonomi, politik, pendidikan dan lainnya.
Persepsi negativ dan diskriminatif muncul dari interpretasi syariat Islam oleh para ulama sunni khususnya, karena selalu menekankan aspek eksoteristik relasi gender dalam hukum, sosiologi, psikologi, antropologi danpolitik. Syariat, dalam bentuk ijtihad fiqih, dengan pendekatan legalistic formal, cenderung menekankan aspek ontology dari pada menelusuri aspek epistemology dan aksiologi. Syariat, sudah barang tentu diperlukan oleh masyarakat Islam, tetapi syariat harus dibangun atas dasar prinsip yang lebih urgen. Prinsip –prinsip itu menjadi objek kajian disiplin ilmu keislaman tradisional yang dikenal dengan ushul fiqh, metode untuk mewujudkan pemahaman dan penalaran. Namun, tugas penggalian prinsip – prinsip itu tidak mengungkap maknanya yang lebih menukik dalam hal yang tidak disajikan oleh syariat, tetapi disingkap oleh mistisisme dalam Islam.
hermeneutik setudi Islam
HERMENEUTIK SETUDI ISLAM
Atas nama tuhan Dari fiqih otoriter ke fiqih otoritatif
Karya; Khaled M. Abou El-Fadl
Oleh; Muhammad Al Faruq
A. PENDAHULUAN
Kajian penelitian khaled ini bermula dari esai pendek yang mengkritisi sebuah fatwa hukum misoginis yang dikeluarkan oleh sebuah organisasi islam di Amerika. Pada saat itu, yang menjadi pikiran adalah kenyataan bahwa fatwa tersebut menyatakan ketentuan yang merendahkan dan menghina perempuan sebagai kehendak tuhan yang tidak boleh digugat dan diperdebatkan. Keterlibatan peneliti dalam tradisi hukum Islam klasik memungkinkan untuk dapat mengidentifikasi betapa banyak bukti – bukti yang diabaikan dan dilangkahi oleh organisasi tersebut.
Sekalipun begitu, tampak begitu banyak orang – orang Islam di Amerika yang bersedia menerima fatwa tersebut sebagai satu – satunya kehendak Tuhan. Semakin peneliti mengkaji dan memikirkan dinamika hukum Islam di Amerika, semakin peneliti terganggu dengan kedangkalan, kecerobohan, dan bahkan ketidak jujuran dalam diskursus ini. Didalamnya peneliti tidak menemukan adanya kepaduan metode, pendekatan yang berlandaskan prinsip moral, dan yurisprudensi.
Diskursus hukum Islam di Amerika diramaikan oleh pertarungan antara pelempar hadits masing – masing pihak menganalisis hadits Nabi untuk menemukan sesuatu yang dapat dimuntahkan kearah lawan. Sangat sedikit sarjana yang mengaku pakar hukum Islam di Amerika yang tertarik untuk mengembangkan sebuah diskursus sitematis dan kritis tetang hukum Tuhan. Dan menurut peneliti hukum Islam tampaknya telah menjadi aktivitas pengisi waktu senggang orang – orang yang secara intelektual diragukan dan tidak memiliki emosi.
Persoalannya bukanlah sekedar kondisi pseudo-intelektual masyarakat Muslim Amerika, akan tetapi lebih luas dari itu. Yang menjadi persoalan adalah runtuhnya dan terbengkalainya premis – premis tradisional yang melandasi bangunan hukum Islam, tanpa adanya usaha untuk menggantinya dengan alternatif yang dapat dikembangkan. Kebanyakan sikap yang diambil berbagai kelompok pelempar hadits di Amerika mencerminkan dan bersandar pada diskursus beragam kelompok Muslim di Dunia Islam secara keseluruhan. jadi, misalnya sikap hukum beberapa organisasi Islam di Amerika memperlihatkan ketidak sukaan terhadap perempuan tidak lebih dari perpanjangan sikap organisasi Islam yang berpengaruh di beberapa Negara Muslim. Singkatnya, kelemahan metodologis secara umum sedang mewabah dalam diskursus hukum Islam kontemporer.
B. KEGELISAHAN AKADEMIK
Kegelisahan yang dialami peneliti ini berawal ketika peneliti melihat realitas hukum Islam yang terjadi pada masyarakat dimana sejumlah kalangan umat Islam bersikap otoriter dan merasa paling benar dalam menafsirkan teks suci al-Qur’an dan sunnah. Selain itu para pengkaji hukum Islam dalam penetapan – penetapannya tersebut sering kali terang – terangan berorientasi pada hasil, dan bahkan penetapan – penetapan tersebut sangat ceroboh dan tidak kritis dalam menangani bukti – bukti yang ada, dan yang lebih penting bahwa penetapan – penetapan tersebut tidak memasukkan pertimbangan moral atau tidak menempatkan pertimbangan moral pada posisi yang semestinya.
C. PENTINGNYA TOPIK PENELITIAN
Penelitian khaled abou el-fadl ini penting untuk melahirkan sebuah analisis kritis tentang anatomi praktik penafsiran hukum yang bersifat otoriter. Yang dalam hasil kajiannya khaled menyajikan sebuah kerangka konseptual untuk membangun gagasan tentang otoritas dan mengidentifikasi penyalah gunaan otoritas dalam hukum Islam.
Didalam penelitiannya ini khaled tidak merujuk pada otoritas kelembagaan, tapi lebih pada otoritas persuasif dan otoritas moral. Dengan demikian fokus utama dalam kajiannya ini adalah pada gagasan tentang pemegang otoritas dalam hukum Islam, yang dibedakan dengan otoritarianisme. Lebih luas lagi kajian khaled ini berusaha menggali gagasan tentang bagaimana seseorang mewakili suara tuhan tanpa menganggap dirinya sebagai Tuhan, atau setidaknya tanpa ingin dipandang sebagai Tuhan. Dalam artian khaled ingin mengembalikan ilmu yurisprudensi Islam sebagai sebuah epistemology dan sekaligus sebagai metode penelitian ( a methodology of inquiry ), bukan sebagai diskursus keilmuan Islam yang beraroma politis dan otoriter.
Dengan demikian melalui kajian khaled ini akan menghidupkan kembali dan mengembangkan lebih lanjut diskursus klasik tentang peran ‘aql (intellect), fitrah (intuition), atau husn dan qubh (the moral and immoral) yang dicetuskan oleh ulama – ulama Islam klasik dan dikembangkan lebih lanjut lewat pendekatan – pendekatan baru yang muncul belakangan.
D. HASIL PENELITIAN TERDAHULU
Sebelum khaled abou el-fadl melakukan penelitian ini ada juga penafsir hukum Islam yang hampir senada yaitu Ibn al-Qayyim al-jawziyyah ia menyatakan bahwa segala bentuk ketidak adilan yang mungkin terjadi akibat penerapan hukum Tuhan harus dipandang sebagai bentuk kesalahan penafsiran teks. Penafsiran yang jujur dan akurat tidak akan dan tidak seharusnya melahirkan ketidak adilan. Dari pendapat inilah yang mungkin digunakan peneliti untuk melihat realita fatwa – fatwa keagamaan yang terjadi di sebagian Negara muslim yang kebanyakan bersikap mendiskriminasikan kaum wanita.
Selain itu peneliti juga telah menelaah karya - karya sebelumnya mengenai konsep otoritatif dan otoriter, salah satunya Josept Vining. Josept vining menulis sebuah buku tentang perbedaan antara yang otoritatif dan yang otoriter. Dalam bukunya ia menyatakan bahwa meskipun ada kebutuhan untuk menganut sebuah keyakinan bersama terhadap sebuah sistem sebelum melakukan upaya interpretasi, yang otoriter adalah sebentuk taqlid buta, sementara yang otoritatif adalah melakukan pilihan terbaik berdasarkan rasio.
Robert Michels dalam karya klasiknya tentang demokrasi secara persuasif menyatakan bahwa semua sistem politik termasuk demokrasi berada dalam genggaman apa yang ia sebut sebagai hukum besi oligarki. Michels menegaskan bahwa sistem – sistem politik mengalami tekanan yang sangat kuat sentralisasi dan oligarki, dan bahwa tekanan – tekanan tersebut merupakan sebuah kecenderungan alamiah dalam semua organisasi manusia. Begitu pula halnya dalam sebuah proses interpretasi, ada sebuah kecenderungan yang pasti kearah otoritarianisme yang ditandai dengan munculnya penetapan yang bersifat tetap dan tidak berubah. Pemegang otoritas biasanya cenderung mengarah bersifat otoriter kecuali dengan ada upaya sadar dan aktif untuk membendung kecenderungan tersebut dari wakil yang melakukan interpretasi dan wakil yang menerima interpretasi tersebut.
R.B. friedman pernah memberikan pengertian untuk membedakan antara “memangku otoritas” (being in authority) dan “memegang otoritas” (being an authority) dan juga Hannah Arendt yang berpendapat tentang otoritas dan persuasi, yang mana dalam hal ini khaled mengutip dari keduanya untuk menjelaskan tentang konsep otoritas.
Dalam buku hasil penelitian khaled ini memfokuskan diri mengkaji sikap otoriter dalam studi hukum Islam. Khususnya bagaimana CRLO dalam melakkan pembacaan teks sehingga terjatuh dalam sikap otoriter dalam memberikan sebuah fatwa sehingga menimbulkan pembacaan teks yang subjektif dan selektif.
Dia mencontohkan fatwa syeykh Ibn Jibrin ketika ditanya apakah mengenakan bra diperbolehkan menurut hukum Islam? Ibn Jibrin menjawab bahwa beberapa perempuan membiasakan diri mengenakan pakaian tambahan untuk menciptakan kesan bahwa mereka masih muda atau perawan. Dan jika memang demikian motifnya maka hal tersebut dipandang sebagai bentuk penipuan yang dilarang. Namun jika seorang perempuan mengenakan bra tersebut untuk tujuan kesehatan dan pengobatan, maka hal itu diperbolehkan. Jelas sekali bahwa Ibn Jibrin tidak mengutip perintah tuhan yang sepesifik tentang bra atau jenis pakaian lainnya, ia juga tidak menyebutkan perintah tuhan tentang pakaian dalam yang membuat seseorang lebih seksi. Mungkin yang menjadi landasan argumentasi Ibn Jibrin adalah hadits Nabi yang berbunyi “siapapun yang berlaku curang bukanlah kelompok kami”, namun konteks riwayat hadits Nabi tersebut tidak ada kaitannya dengan bra. Akan tetapi konteks hadits tersebut mengenai pedagang yang berlaku curang dalam menjajakan barang dagangannya.
E. METODE PENELITIAN
Kajian hukum Islam oleh khaled abou el-fadl lewat perspektif hermeneutic ini tergolong baru. Kajian hermeneutic yang ia tawarkan bersifat inter dan multisipliner, lantaran melibatkan berbagai pendekatan linguistic, interpretive social sciencer, literary criticism, selain ilmu – ilmu keIslaman yang baku mulai dari mushthalah al-hadits, rijal al-hadits, fiqih, ushul fiqih, tafsir, kalam, yang kemudian dipadukan dengan humaniora kontemporer.
Pendekatan hermeneutic ini menekankan sebuah relativisme yang besar atas disiplin yang sangat miskin dengan relativisme yaitu hukum Islam. Peneliti menjelaskan bahwa otoritarianisme adalah sebuah metodologi hermeneutic yang merampas dan menundukkan mekanisme pencarian makna dari sebuah teks kedalam pembaca yang sangat subjektif dan selektif. Subjektifitas yang selektif dari hermeneutic otoriter ini melibatkan penyamaan antara maksud pengarang dan maksud pembaca dengan memandang maksud tekstual dan otoritas teks sebagai hal yang bersifat sekunder. Lebih jauh lagi dengan menganggap maksud tekstual menjadi tidak penting dan dengan menghapus otoritas teks khaled menjelaskan bahwa seorang pembaca yang subjektif pasti akan melakukan kesalahan penafsiran atau kecurangan dan melanggar syarat – syarat yang lain.
Khaled menggambarkan bagaimana proses seorang pembaca teks sehingga jatuh dalam sikap otoriter seperti ini; kalau pembaca bergelut dengan teks dan menarik sebuah hukum dari teks, resiko yang dihadapi adalah bahwa pembaca menyatu dengan teks, atau penetapan pembaca akan menjadi perwujudan eksklusif teks tersebut. Akibatnya, teks dan kontruksi pembaca akan menjadi satu dan serupa dalam proses ini, teks tunduk pada pembaca dan secara efektif pembaca menjadi pengganti teks. Jika seorang pembaca memilih sebuah cara baca tertentu atas teks dan mengklaim bahwa tidak ada lagi pembacaan lain. Teks tersebut larut kedalam karakter pembaca. Jika pembaca melampaui dan menyelewengkan teks bahaya yang akan dihadapi adalah pembaca akan menjadi tidak efektif, tidak tersentuh, dan otoriter.
Kecenderungan otoriter tersebut dapat dibendung dengan lima prasyarat, khaled mencontohkan kalau X dan Y merupakan wakil – wakil yang telah menerima perintah yang agak kompleks dari Tuannya yang memerintahkan agar mereka melaksanakan pekerjaan tertentu dan harus melaksanakannya dengan cara tertentu. Y akan memandang X memiliki otoritas untuk diikuti karena Y percaya kepada X, namun kepercayaan ini didasarkan pada sebuah asumsi rasional bahwa kelima prasyarat itu telah terpenuhi, adapun lima prasyarat tersebut adalah;
Pertama, kejujuran, prasyarat kejujuran mencakup harapan bahwa X tidak bersikap pura – pura memahami apa yang sebenarnya tidak ia ketahui dan bersikap terusterang sejauh mana ilmu dan kemampuannya dalam memahami perintah tuannya.
Kedua, kesungguhan, secara logis Y berasumsi bahwa X telah mengerahkan segenap upaya rasional dalam menemukan dan memahami perintah – perintah yang relevan berkaitan dengan sebuah atau serangkaian persoalan tertentu.
Ketiga, kemenyeluruhan, secara logis Y berasumsi bahwa X telah berusaha untuk menyelidiki perintah Tuannya secara menyeluruh dan berharap bahwa X telah mempertimbangkan semua perintah yang relevan. Membuat upaya terus menerus untuk menemukan semua perintah yang relevan dan tidak melepas tanggung jawabnya untuk menyelidiki atau menemukan alur pembuktian tertentu.
Keempat, rasionalitas, secara logis Y berasumsi bahwa X telah melakukan upaya penafsiran dan menganalisis perintah – perintah Tuannya secara rasional, tentu saja rasional itu dipandang sebagai sebah konsep yang abstrak, namun menurut khaled setidaknya ia berarti sesuatu yang dalam kondisi tertentu dipandang benar secara umum.
Kelima, pengendalian diri, secara logis Y menghendaki agar X menunjukkan tingkat kerendahan hati dan pengendalian diri yang layak dalam menjelaskan kehendak Tuannya, persyaratan ini dijelaskan dengan baik dalam ungkapan Islam “dan Tuhan tahu yang terbaik/ Tuhan lebih tahu (wa allahu a’lam)”
F. RUANG LINGKUP DAN ISTILAH KUNCI PENELITIAN
Pokok kajian dalam penelitian yang dilakukan Kholed M. Abou el-fadl ini menyangkut permasalahan hubungan antara pengarang (author), teks, dan pembaca (reader) yang kemudian menghasilkan sebuah penafsiran atau produk hukum dan fatwa – fatwa keagamaan, yang dikhususkan lagi yaitu mengenai fatwa CRLO yaitu lembaga resmi di Arab saudi yang diberikan kepercayaan untuk mengeluarkan fatwa.
sehingga untuk memahaminya diperlukan istilah kunci yaitu otoritas, dan otoriter (otoritarianisme), dalam konsep otoritas, khaled membedakan antara otoritas koersif dan otoritas persuasif. Otoritas koersif merupakan kemampuan untuk mengarahkan perilaku orang lain dengan cara membujuk, mengambil keuntungan, mengancam, atau menghukum, sehingga orang yang berakal sehat akan berkesimpulan bahwa untuk tujuan praktis mereka tidak punya pilihan lain kecuali harus menurutinya. Otoritas persuasif melibatkan kekuasaan yang bersifat normatif. Ia merupakan kemampuan untuk mengarahkan keyakinan atau perilaku seseorang atas dasar kepercayaan. Sedangkan istilah otoritarianisme adalah mekanisme pencarian makna dari sebuah teks kedalam pembacaan yang sangat subjektif dan selektif.
G. SISTEMATIKA PEMBAHASAN
Dari hasil penelitian khaled ini tidak menampilkan sebuah kajian antropologis atau sosiologis tentang praktik hukum Islam pada zaman moderen ini, Akan tetapi merupakan sebuah karya tentang teori hukum bukan kajian tentang antropologi atau sosiologi.
Dalam hasil penelitiannya khaled membagi kedalam tujuh bab dan ditambah dengan satu kesimpulan. Pada bab pertama, yang diberi judul “menyelami persoalan”, memaparkan tema sentral dan asumsi dasar dalam hasil penelitiannya tersebut. Peneliti tidak menamakan bab pertama sebagai pendahuluan karena bagian tersebut tidak dimaksudkan hanya sebagai catatan pengantar untuk bab – bab berikutnya. Yang jelas dari hasil penelitian tersebut tidak memberikan sebuah pendahuluan yang bersifat formal, tetapi berusaha mengajak atau menggugah pembaca untuk terlibat secara intelektual dan emosional dengan tema yang dikaji dalam penelitiannya tersebut. Hal ini dilakukan dengan jalan mengemukakan serangkaian persoalan, serta dengan saling berbagi asumsi dan dilema intelektual antara penulis (khaled) dan pembaca. Kebanyakan pembaca biasa tidak membaca bagian pendahuluan dan langsung membaca bab pertama tentu saja hal seperti ini dibenarkan. Akan tetapi dalam hasil penelitian ini bagian pertama merupakan bahasan yang penting untuk masuk pada keseluruhan kajiannya.
Pada bab kedua berusaha menggali gagasan tentang pemegang otoritas dalam hukum Islam dengan menganalisis gagasan tentang kekuasaan mutlak tuhan, peran ketaatan dalam pembentukan otoritas, dan fungsi para ahli hukum (fuqaha). Dan pada bab ketiga berfungsi sebagai sebuah peralihan singkat sebelum memasuki bab keempat dan kelima. Sedangkan pada bab keempat dan kelima ini agak bersifat abstrak dan terperinci, yaitu berisi kajian tentang peran teks dalam menentukan makna. Dalam konteks ini khaled mengajukan teori dan syarat – syarat keberwenangan para ahli hukum Islam, dan proses yang bisa dijadikan acuan bagi pembaca untuk melihat bahwa para ahli hukum telah menyalahgunakan otoritas mereka.
Pada bab kedua sampai bab kelima membangun dasar – dasar untuk melakukan analisis kritis tentang penyalah gunaan praktik hukum di dunia Islam moderen, yang mana menjadikan garapan bab keenam dan ketujuh. Kedua bab terakhir menyajikan setudi kasus seputar proses terbentuknya otoritarianisme dalam praktik hukum Islam didunia moderen. Kebanyakan setudi kasus itu berfokus pada fatwa tentang persoalan seputar perempuan karena fatwa – fatwa tersebut menggambarkan dengan jelas kesalahan pemakaian dan penyalah gunaan otoritas tuhan.
H. KONTRIBUSI DALAM ILMU – ILMU KEISLAMAN
Dari hasil penelitian dan kajian yang dilakukan khaled ini secara pasti tidak memberikan sebuah kontribusi baru terhadap produk hukum Islam itu sendiri, akan tetapi dari apa yang telah dikajinya memberikan sebuah sumbangan penjelasan mengenai pendekatan hermeneutic dalam studi hukum Islam, khususnya teori otoritarianisme sebagai metodologi hermeneutic yang menundukkan mekanisme pencarian makna dari sebuah teks kedalam pembacaan yang sangat subjektif dan selektif.
Dari situ khaled menekankan pentingnya mengembalikan etos intelektual, etos keilmuan yang pernah ada dalam sejarah umat islam ditengah – tengah ramai dan riuhnya klaim (pengakuan) banyak orang yang merasa paling tahu dan paling benar mengenai maksud Tuhan dan teks sampai – sampai mereka merasa sebagai satu – satunya orang yang mewakili Tuhan, mereka lupa bahwa setiap orang diberi mandat menjadi wakil Tuhan (kholifah) di muka bumi.
Selain itu dalam kajiannya khaled juga mengajukan lima prasyarat yang menjadi landasan pelimpahan otoritas terhadap wakil khusus (lembaga penetap fatwa) untuk menghindari sikap otoritarianisme yaitu; kejujuran, kesungguhan, kemenyeluruhan, rasionalitas, dan pengendalian diri.
Atas nama tuhan Dari fiqih otoriter ke fiqih otoritatif
Karya; Khaled M. Abou El-Fadl
Oleh; Muhammad Al Faruq
A. PENDAHULUAN
Kajian penelitian khaled ini bermula dari esai pendek yang mengkritisi sebuah fatwa hukum misoginis yang dikeluarkan oleh sebuah organisasi islam di Amerika. Pada saat itu, yang menjadi pikiran adalah kenyataan bahwa fatwa tersebut menyatakan ketentuan yang merendahkan dan menghina perempuan sebagai kehendak tuhan yang tidak boleh digugat dan diperdebatkan. Keterlibatan peneliti dalam tradisi hukum Islam klasik memungkinkan untuk dapat mengidentifikasi betapa banyak bukti – bukti yang diabaikan dan dilangkahi oleh organisasi tersebut.
Sekalipun begitu, tampak begitu banyak orang – orang Islam di Amerika yang bersedia menerima fatwa tersebut sebagai satu – satunya kehendak Tuhan. Semakin peneliti mengkaji dan memikirkan dinamika hukum Islam di Amerika, semakin peneliti terganggu dengan kedangkalan, kecerobohan, dan bahkan ketidak jujuran dalam diskursus ini. Didalamnya peneliti tidak menemukan adanya kepaduan metode, pendekatan yang berlandaskan prinsip moral, dan yurisprudensi.
Diskursus hukum Islam di Amerika diramaikan oleh pertarungan antara pelempar hadits masing – masing pihak menganalisis hadits Nabi untuk menemukan sesuatu yang dapat dimuntahkan kearah lawan. Sangat sedikit sarjana yang mengaku pakar hukum Islam di Amerika yang tertarik untuk mengembangkan sebuah diskursus sitematis dan kritis tetang hukum Tuhan. Dan menurut peneliti hukum Islam tampaknya telah menjadi aktivitas pengisi waktu senggang orang – orang yang secara intelektual diragukan dan tidak memiliki emosi.
Persoalannya bukanlah sekedar kondisi pseudo-intelektual masyarakat Muslim Amerika, akan tetapi lebih luas dari itu. Yang menjadi persoalan adalah runtuhnya dan terbengkalainya premis – premis tradisional yang melandasi bangunan hukum Islam, tanpa adanya usaha untuk menggantinya dengan alternatif yang dapat dikembangkan. Kebanyakan sikap yang diambil berbagai kelompok pelempar hadits di Amerika mencerminkan dan bersandar pada diskursus beragam kelompok Muslim di Dunia Islam secara keseluruhan. jadi, misalnya sikap hukum beberapa organisasi Islam di Amerika memperlihatkan ketidak sukaan terhadap perempuan tidak lebih dari perpanjangan sikap organisasi Islam yang berpengaruh di beberapa Negara Muslim. Singkatnya, kelemahan metodologis secara umum sedang mewabah dalam diskursus hukum Islam kontemporer.
B. KEGELISAHAN AKADEMIK
Kegelisahan yang dialami peneliti ini berawal ketika peneliti melihat realitas hukum Islam yang terjadi pada masyarakat dimana sejumlah kalangan umat Islam bersikap otoriter dan merasa paling benar dalam menafsirkan teks suci al-Qur’an dan sunnah. Selain itu para pengkaji hukum Islam dalam penetapan – penetapannya tersebut sering kali terang – terangan berorientasi pada hasil, dan bahkan penetapan – penetapan tersebut sangat ceroboh dan tidak kritis dalam menangani bukti – bukti yang ada, dan yang lebih penting bahwa penetapan – penetapan tersebut tidak memasukkan pertimbangan moral atau tidak menempatkan pertimbangan moral pada posisi yang semestinya.
C. PENTINGNYA TOPIK PENELITIAN
Penelitian khaled abou el-fadl ini penting untuk melahirkan sebuah analisis kritis tentang anatomi praktik penafsiran hukum yang bersifat otoriter. Yang dalam hasil kajiannya khaled menyajikan sebuah kerangka konseptual untuk membangun gagasan tentang otoritas dan mengidentifikasi penyalah gunaan otoritas dalam hukum Islam.
Didalam penelitiannya ini khaled tidak merujuk pada otoritas kelembagaan, tapi lebih pada otoritas persuasif dan otoritas moral. Dengan demikian fokus utama dalam kajiannya ini adalah pada gagasan tentang pemegang otoritas dalam hukum Islam, yang dibedakan dengan otoritarianisme. Lebih luas lagi kajian khaled ini berusaha menggali gagasan tentang bagaimana seseorang mewakili suara tuhan tanpa menganggap dirinya sebagai Tuhan, atau setidaknya tanpa ingin dipandang sebagai Tuhan. Dalam artian khaled ingin mengembalikan ilmu yurisprudensi Islam sebagai sebuah epistemology dan sekaligus sebagai metode penelitian ( a methodology of inquiry ), bukan sebagai diskursus keilmuan Islam yang beraroma politis dan otoriter.
Dengan demikian melalui kajian khaled ini akan menghidupkan kembali dan mengembangkan lebih lanjut diskursus klasik tentang peran ‘aql (intellect), fitrah (intuition), atau husn dan qubh (the moral and immoral) yang dicetuskan oleh ulama – ulama Islam klasik dan dikembangkan lebih lanjut lewat pendekatan – pendekatan baru yang muncul belakangan.
D. HASIL PENELITIAN TERDAHULU
Sebelum khaled abou el-fadl melakukan penelitian ini ada juga penafsir hukum Islam yang hampir senada yaitu Ibn al-Qayyim al-jawziyyah ia menyatakan bahwa segala bentuk ketidak adilan yang mungkin terjadi akibat penerapan hukum Tuhan harus dipandang sebagai bentuk kesalahan penafsiran teks. Penafsiran yang jujur dan akurat tidak akan dan tidak seharusnya melahirkan ketidak adilan. Dari pendapat inilah yang mungkin digunakan peneliti untuk melihat realita fatwa – fatwa keagamaan yang terjadi di sebagian Negara muslim yang kebanyakan bersikap mendiskriminasikan kaum wanita.
Selain itu peneliti juga telah menelaah karya - karya sebelumnya mengenai konsep otoritatif dan otoriter, salah satunya Josept Vining. Josept vining menulis sebuah buku tentang perbedaan antara yang otoritatif dan yang otoriter. Dalam bukunya ia menyatakan bahwa meskipun ada kebutuhan untuk menganut sebuah keyakinan bersama terhadap sebuah sistem sebelum melakukan upaya interpretasi, yang otoriter adalah sebentuk taqlid buta, sementara yang otoritatif adalah melakukan pilihan terbaik berdasarkan rasio.
Robert Michels dalam karya klasiknya tentang demokrasi secara persuasif menyatakan bahwa semua sistem politik termasuk demokrasi berada dalam genggaman apa yang ia sebut sebagai hukum besi oligarki. Michels menegaskan bahwa sistem – sistem politik mengalami tekanan yang sangat kuat sentralisasi dan oligarki, dan bahwa tekanan – tekanan tersebut merupakan sebuah kecenderungan alamiah dalam semua organisasi manusia. Begitu pula halnya dalam sebuah proses interpretasi, ada sebuah kecenderungan yang pasti kearah otoritarianisme yang ditandai dengan munculnya penetapan yang bersifat tetap dan tidak berubah. Pemegang otoritas biasanya cenderung mengarah bersifat otoriter kecuali dengan ada upaya sadar dan aktif untuk membendung kecenderungan tersebut dari wakil yang melakukan interpretasi dan wakil yang menerima interpretasi tersebut.
R.B. friedman pernah memberikan pengertian untuk membedakan antara “memangku otoritas” (being in authority) dan “memegang otoritas” (being an authority) dan juga Hannah Arendt yang berpendapat tentang otoritas dan persuasi, yang mana dalam hal ini khaled mengutip dari keduanya untuk menjelaskan tentang konsep otoritas.
Dalam buku hasil penelitian khaled ini memfokuskan diri mengkaji sikap otoriter dalam studi hukum Islam. Khususnya bagaimana CRLO dalam melakkan pembacaan teks sehingga terjatuh dalam sikap otoriter dalam memberikan sebuah fatwa sehingga menimbulkan pembacaan teks yang subjektif dan selektif.
Dia mencontohkan fatwa syeykh Ibn Jibrin ketika ditanya apakah mengenakan bra diperbolehkan menurut hukum Islam? Ibn Jibrin menjawab bahwa beberapa perempuan membiasakan diri mengenakan pakaian tambahan untuk menciptakan kesan bahwa mereka masih muda atau perawan. Dan jika memang demikian motifnya maka hal tersebut dipandang sebagai bentuk penipuan yang dilarang. Namun jika seorang perempuan mengenakan bra tersebut untuk tujuan kesehatan dan pengobatan, maka hal itu diperbolehkan. Jelas sekali bahwa Ibn Jibrin tidak mengutip perintah tuhan yang sepesifik tentang bra atau jenis pakaian lainnya, ia juga tidak menyebutkan perintah tuhan tentang pakaian dalam yang membuat seseorang lebih seksi. Mungkin yang menjadi landasan argumentasi Ibn Jibrin adalah hadits Nabi yang berbunyi “siapapun yang berlaku curang bukanlah kelompok kami”, namun konteks riwayat hadits Nabi tersebut tidak ada kaitannya dengan bra. Akan tetapi konteks hadits tersebut mengenai pedagang yang berlaku curang dalam menjajakan barang dagangannya.
E. METODE PENELITIAN
Kajian hukum Islam oleh khaled abou el-fadl lewat perspektif hermeneutic ini tergolong baru. Kajian hermeneutic yang ia tawarkan bersifat inter dan multisipliner, lantaran melibatkan berbagai pendekatan linguistic, interpretive social sciencer, literary criticism, selain ilmu – ilmu keIslaman yang baku mulai dari mushthalah al-hadits, rijal al-hadits, fiqih, ushul fiqih, tafsir, kalam, yang kemudian dipadukan dengan humaniora kontemporer.
Pendekatan hermeneutic ini menekankan sebuah relativisme yang besar atas disiplin yang sangat miskin dengan relativisme yaitu hukum Islam. Peneliti menjelaskan bahwa otoritarianisme adalah sebuah metodologi hermeneutic yang merampas dan menundukkan mekanisme pencarian makna dari sebuah teks kedalam pembaca yang sangat subjektif dan selektif. Subjektifitas yang selektif dari hermeneutic otoriter ini melibatkan penyamaan antara maksud pengarang dan maksud pembaca dengan memandang maksud tekstual dan otoritas teks sebagai hal yang bersifat sekunder. Lebih jauh lagi dengan menganggap maksud tekstual menjadi tidak penting dan dengan menghapus otoritas teks khaled menjelaskan bahwa seorang pembaca yang subjektif pasti akan melakukan kesalahan penafsiran atau kecurangan dan melanggar syarat – syarat yang lain.
Khaled menggambarkan bagaimana proses seorang pembaca teks sehingga jatuh dalam sikap otoriter seperti ini; kalau pembaca bergelut dengan teks dan menarik sebuah hukum dari teks, resiko yang dihadapi adalah bahwa pembaca menyatu dengan teks, atau penetapan pembaca akan menjadi perwujudan eksklusif teks tersebut. Akibatnya, teks dan kontruksi pembaca akan menjadi satu dan serupa dalam proses ini, teks tunduk pada pembaca dan secara efektif pembaca menjadi pengganti teks. Jika seorang pembaca memilih sebuah cara baca tertentu atas teks dan mengklaim bahwa tidak ada lagi pembacaan lain. Teks tersebut larut kedalam karakter pembaca. Jika pembaca melampaui dan menyelewengkan teks bahaya yang akan dihadapi adalah pembaca akan menjadi tidak efektif, tidak tersentuh, dan otoriter.
Kecenderungan otoriter tersebut dapat dibendung dengan lima prasyarat, khaled mencontohkan kalau X dan Y merupakan wakil – wakil yang telah menerima perintah yang agak kompleks dari Tuannya yang memerintahkan agar mereka melaksanakan pekerjaan tertentu dan harus melaksanakannya dengan cara tertentu. Y akan memandang X memiliki otoritas untuk diikuti karena Y percaya kepada X, namun kepercayaan ini didasarkan pada sebuah asumsi rasional bahwa kelima prasyarat itu telah terpenuhi, adapun lima prasyarat tersebut adalah;
Pertama, kejujuran, prasyarat kejujuran mencakup harapan bahwa X tidak bersikap pura – pura memahami apa yang sebenarnya tidak ia ketahui dan bersikap terusterang sejauh mana ilmu dan kemampuannya dalam memahami perintah tuannya.
Kedua, kesungguhan, secara logis Y berasumsi bahwa X telah mengerahkan segenap upaya rasional dalam menemukan dan memahami perintah – perintah yang relevan berkaitan dengan sebuah atau serangkaian persoalan tertentu.
Ketiga, kemenyeluruhan, secara logis Y berasumsi bahwa X telah berusaha untuk menyelidiki perintah Tuannya secara menyeluruh dan berharap bahwa X telah mempertimbangkan semua perintah yang relevan. Membuat upaya terus menerus untuk menemukan semua perintah yang relevan dan tidak melepas tanggung jawabnya untuk menyelidiki atau menemukan alur pembuktian tertentu.
Keempat, rasionalitas, secara logis Y berasumsi bahwa X telah melakukan upaya penafsiran dan menganalisis perintah – perintah Tuannya secara rasional, tentu saja rasional itu dipandang sebagai sebah konsep yang abstrak, namun menurut khaled setidaknya ia berarti sesuatu yang dalam kondisi tertentu dipandang benar secara umum.
Kelima, pengendalian diri, secara logis Y menghendaki agar X menunjukkan tingkat kerendahan hati dan pengendalian diri yang layak dalam menjelaskan kehendak Tuannya, persyaratan ini dijelaskan dengan baik dalam ungkapan Islam “dan Tuhan tahu yang terbaik/ Tuhan lebih tahu (wa allahu a’lam)”
F. RUANG LINGKUP DAN ISTILAH KUNCI PENELITIAN
Pokok kajian dalam penelitian yang dilakukan Kholed M. Abou el-fadl ini menyangkut permasalahan hubungan antara pengarang (author), teks, dan pembaca (reader) yang kemudian menghasilkan sebuah penafsiran atau produk hukum dan fatwa – fatwa keagamaan, yang dikhususkan lagi yaitu mengenai fatwa CRLO yaitu lembaga resmi di Arab saudi yang diberikan kepercayaan untuk mengeluarkan fatwa.
sehingga untuk memahaminya diperlukan istilah kunci yaitu otoritas, dan otoriter (otoritarianisme), dalam konsep otoritas, khaled membedakan antara otoritas koersif dan otoritas persuasif. Otoritas koersif merupakan kemampuan untuk mengarahkan perilaku orang lain dengan cara membujuk, mengambil keuntungan, mengancam, atau menghukum, sehingga orang yang berakal sehat akan berkesimpulan bahwa untuk tujuan praktis mereka tidak punya pilihan lain kecuali harus menurutinya. Otoritas persuasif melibatkan kekuasaan yang bersifat normatif. Ia merupakan kemampuan untuk mengarahkan keyakinan atau perilaku seseorang atas dasar kepercayaan. Sedangkan istilah otoritarianisme adalah mekanisme pencarian makna dari sebuah teks kedalam pembacaan yang sangat subjektif dan selektif.
G. SISTEMATIKA PEMBAHASAN
Dari hasil penelitian khaled ini tidak menampilkan sebuah kajian antropologis atau sosiologis tentang praktik hukum Islam pada zaman moderen ini, Akan tetapi merupakan sebuah karya tentang teori hukum bukan kajian tentang antropologi atau sosiologi.
Dalam hasil penelitiannya khaled membagi kedalam tujuh bab dan ditambah dengan satu kesimpulan. Pada bab pertama, yang diberi judul “menyelami persoalan”, memaparkan tema sentral dan asumsi dasar dalam hasil penelitiannya tersebut. Peneliti tidak menamakan bab pertama sebagai pendahuluan karena bagian tersebut tidak dimaksudkan hanya sebagai catatan pengantar untuk bab – bab berikutnya. Yang jelas dari hasil penelitian tersebut tidak memberikan sebuah pendahuluan yang bersifat formal, tetapi berusaha mengajak atau menggugah pembaca untuk terlibat secara intelektual dan emosional dengan tema yang dikaji dalam penelitiannya tersebut. Hal ini dilakukan dengan jalan mengemukakan serangkaian persoalan, serta dengan saling berbagi asumsi dan dilema intelektual antara penulis (khaled) dan pembaca. Kebanyakan pembaca biasa tidak membaca bagian pendahuluan dan langsung membaca bab pertama tentu saja hal seperti ini dibenarkan. Akan tetapi dalam hasil penelitian ini bagian pertama merupakan bahasan yang penting untuk masuk pada keseluruhan kajiannya.
Pada bab kedua berusaha menggali gagasan tentang pemegang otoritas dalam hukum Islam dengan menganalisis gagasan tentang kekuasaan mutlak tuhan, peran ketaatan dalam pembentukan otoritas, dan fungsi para ahli hukum (fuqaha). Dan pada bab ketiga berfungsi sebagai sebuah peralihan singkat sebelum memasuki bab keempat dan kelima. Sedangkan pada bab keempat dan kelima ini agak bersifat abstrak dan terperinci, yaitu berisi kajian tentang peran teks dalam menentukan makna. Dalam konteks ini khaled mengajukan teori dan syarat – syarat keberwenangan para ahli hukum Islam, dan proses yang bisa dijadikan acuan bagi pembaca untuk melihat bahwa para ahli hukum telah menyalahgunakan otoritas mereka.
Pada bab kedua sampai bab kelima membangun dasar – dasar untuk melakukan analisis kritis tentang penyalah gunaan praktik hukum di dunia Islam moderen, yang mana menjadikan garapan bab keenam dan ketujuh. Kedua bab terakhir menyajikan setudi kasus seputar proses terbentuknya otoritarianisme dalam praktik hukum Islam didunia moderen. Kebanyakan setudi kasus itu berfokus pada fatwa tentang persoalan seputar perempuan karena fatwa – fatwa tersebut menggambarkan dengan jelas kesalahan pemakaian dan penyalah gunaan otoritas tuhan.
H. KONTRIBUSI DALAM ILMU – ILMU KEISLAMAN
Dari hasil penelitian dan kajian yang dilakukan khaled ini secara pasti tidak memberikan sebuah kontribusi baru terhadap produk hukum Islam itu sendiri, akan tetapi dari apa yang telah dikajinya memberikan sebuah sumbangan penjelasan mengenai pendekatan hermeneutic dalam studi hukum Islam, khususnya teori otoritarianisme sebagai metodologi hermeneutic yang menundukkan mekanisme pencarian makna dari sebuah teks kedalam pembacaan yang sangat subjektif dan selektif.
Dari situ khaled menekankan pentingnya mengembalikan etos intelektual, etos keilmuan yang pernah ada dalam sejarah umat islam ditengah – tengah ramai dan riuhnya klaim (pengakuan) banyak orang yang merasa paling tahu dan paling benar mengenai maksud Tuhan dan teks sampai – sampai mereka merasa sebagai satu – satunya orang yang mewakili Tuhan, mereka lupa bahwa setiap orang diberi mandat menjadi wakil Tuhan (kholifah) di muka bumi.
Selain itu dalam kajiannya khaled juga mengajukan lima prasyarat yang menjadi landasan pelimpahan otoritas terhadap wakil khusus (lembaga penetap fatwa) untuk menghindari sikap otoritarianisme yaitu; kejujuran, kesungguhan, kemenyeluruhan, rasionalitas, dan pengendalian diri.
Subscribe to:
Posts (Atom)