10 Feb 2011

Islam dan demokrasi

ISLAM DAN DEMOKRASI
TELAAH KARYA MUHAMMAD HUSEIN HAIKAL
(1888 – 1956M)

A. Pendahuluan
Islam telah didiskreditkan dalam dua hal, pertama yaitu ketika dibandingkan dengan demokrasi, dan kedua ketika dikatakan bahwa Islam bertentangan dengan demokrasi. Karena membandingkan antara keduanya merupakan hal yang salah, seperti halnya menganggapnya saling bertentangan juga salah. Inilah masalah yang perlu klarifikasi dan penjelasan.
Dari segi metode, perbandingan antara kedua hal diatas tidak bisa dibenarkan, karena Islam merupakan risalah yang mengandung asas – asas yang mengatur ibadah, akhlak, dan muamalah manusia. Sedangkan demokrasi hanya sebuah sistem pemerintahan dan mekanisme kerjasama antara anggota masyarakat serta simbol yang membawa banyak nilai – nilai positif.
Benar bahwa dalam konsep demokrasi banyak terdapat masalah yang dapat dijadikan perbandingan, tetapi dimensi peradaban bagi akidah harus benar – benar jelas. Dengan pertimbangan bahwa Islam memiliki konsep peradaban yang sepesifik, sedangkan demokrasi hanya merupakan bagian dari konsep peradaban inkonsisten.
Perbedaan ini tidak sepatutnya diartikan sebagai perlawanan atau permusuhan, karena masih terdapat beberapa keserasian pada sebagian nilai – nilai pokok dan ideal, tetapi hal itu harus dipahami dalam sudut variasi dan diferensiasi. Pada tingkatan lain, seseorang tidak mempunyai pilihan lain kecuali menetapkan bahwa masalahnya secara global diwarnai oleh beberapa kerancuan – kerancuan kecil dan bervariasi. Inilah masalah dimana para pengkaji harus menerobos hasil pemikiran – pemikiran menuju pada pengungkapan letak – letak kerancuan, serta mengupas unsur – unsur permasalahan dan meletakkannya pada porsi yang sebenarnya.
Sebagian orang tidak memandang demokrasi sekarang ini sebagai sistem pemerintahan yang berlandaskan pada kebebasan, kerjasama politik, pluralisme tetapi memandangnya sebagai rumusan bagi konsep barat yang memperburuk citra bangsa arab dan kaum muslim. Paling tidak media informasi di barat menampakkan permusuhan kepada Islam. Dengan demikian tidak diakuinya demokrasi versi barat ini tidak dapat dianggap sebagai penolakan terhadap demokrasi itu sendiri, tetapi pada hakikatnya penolakan tersebut berdasarkan pada konsep yang disodorkan. Untuk itu dalam pembahasan ini penulis akan coba menelusuri konsep demokrasi dalam Islam menurut Muhammad Husein Haikal yaitu salah seorang tokoh westernisasi, dimana ia pernah menulis konsep negara.

B. Riwayat Hidup Husein Haikal
Muhammad Husein Haikal dilahirkan pada tanggal 30 agustus 1888 di desa Kafr Ghanam wilayah Mesir hilir, sekitar 140 km dari Kairo dan hanya beberapa kilometer dari desa Barqain, yaitu tempat dilahirkannya Lutfi Sayyid yaitu seorang tokoh nasionalis terkemuka Mesir yang dikemudian hari merupakan guru yang besar pengaruhnya pada pembentukan kepribadian, pandangan hidup dan orientasi politik Haikal, dan juga merupakan kawan seperjuangan. Haikal lahir dari keluarga berada, terpandang dan berpengaruh di desa dan kawasan sekitarnya. Pada tahun 1946 Haikal mencoba memberikan gambaran tentang betapa bahagianya kehidupan dimasa kecilnya dalam satu karangan pendek berjudul Hidup Itu Penuh Cinta Kasih.
Semasa menerima pendidikan sekolah dasar Haikal dikirm ke Kairo belajar di sekolah Al-Jamaliah, dan tamat pada tahun 1901. Kemudian untuk pendidikan sekolah menengah ia pindah kesekolah Al-Khedewiyah dan lulus pada tahun 1905. Dia bermaksud meneruskan belajar keperguruan tinggi teknik di Inggris, pada waktu itu kakek Haikal, Salim meninggal dunia dan diantara yang datang melayat adalah Lutfi Sayyid, guru Haikal yang sepuluh tahun lebih tua darinya. Ditempat melayat berlangsung pembicaraan antara Sayyid dan Haikal mengenai kelanjutan pendidikan Haikal, dan Sayyid berhasil membujuknya agar tidak mengambil teknik dan sebaliknya mengambil jurusan hukum di sekolah tinggi hukum Kairo dengan janji bahwa setelah lulus dari sekolah tinggi hukum nanti ayahnya akan mengirimnya keluar negeri untuk mengambil gelar doktor. Dari sinilah Lutfi Sayyid mulai ikut mengarahkan hari depan Haikal.
Pada tahun 1909 Haikal lulus dari sekolah tinggi hukum, kemudian pergi ke Paris dan mengikuti pendidikan pascasarjana di Sorbone. Pada tahun 1912 dia meraih gelar doktor dalam ilmu hukum, dan merupakan putra Mesir pertama yang menyandang gelar kesarjanaan seperti itu. sepulang dari Mesir Haikal membuka kantor pengacara di Al-Mansurah, serta masih meneruskan kegemarannya menulis untuk majalah diantaranya majalah Al-Jaridah, setelah majalah al-Jaridah ditutup bergabung dengan majalah mingguan Al-Sufur.
Seusai perang dunia I rakyat Mesir bergolak menuntut kemerdekaan penuh dari Inggris, dan bermunculan partai – partai politik. Pada tahun 1922 muncul partai baru Al-ah-rar Al-Dusturiyin yang berhaluan moderat Haikal pun masuk menjadi anggota partai, dan atas usulan Lutfi Sayyid kepada pimpinan partai Haikal dipercaya memimpin surat kabar harian Al-Siyasah yang merupakan organ partai, yang akhirnya Haikal meninggalkan profesinya sebagai pengacara dan pindah profesi jurnalistik sekaligus memasuki kancah politik kepartaian.
Setelah lama menjadi jurnalistik pada tanggal 31 desember 1937 Haikal meninggalkan profesi jurnalistik dan pindah kepemerintahan ketika dia diangkat sebagai mentri negara urusan dalam negeri. Jabatan menteri dalam negeri dirangkap oleh perdana menteri. Pada tahun berikutnya, 1938 saat dibentuk pemerintahan baru Haikal mendapatkan tawaran menduduki jabatan menteri dalam negeri, tetapi ia menolak dengan alasan Lutfi Sayyid lebih tepat dengan jabatan itu, sedangkan ia lebih memilih menduduki jabatan menteri pendidikan. Sejak itulah ia hampir tidak pernah putus menduduki kursi kabinet sebagai menteri pendidikan sampai tahun 1945. Tahun itu Haikal meninggalkan kabinet dan pindah jabatan sebagai ketua senat.
Setelah revolusi juli 1952 Haikal sama sekali mundur dari pentas politik, dan menghabiskan waktunya untuk membaca dan menulis sampai wafat dalam usia 68 tahun pada 8 desember 1956. Sehingga kalau kita lihat masa selama hayat Haikal yaitu antara 1888 – 1956M mengalami empat kali perubahan pemerintahan di Mesir, yaitu:
1) Monarchi absolut yaitu pemerintahan masa Khedif Taufiq (1879-1892), dan Khedis Ismail (1879-1917).
2) Monarchi absolut yaitu pada masa Raja Fu’ad I (1917-1936).
3) Monarchi konstitusional pada saat pemerintahan Raja Faruq (1936-1952).
4) Republik mesir “Revolusi juli 1952 revolusi perwira muda” pimpinan Najib dan Gamal Abdul Nasir.

C. Karya Karya Husein Haikal
Tulisan Husein Haikal tentang negara Islam meliputi dasar - dasar tata politik, ekonomi dan sosial terbesar dalam tulisan makalahnya sekitar tahun 1942. Tulisan - tulisan tersebut belum sempat terbukukan sampai beliau wafat 1958. Baru pada tahun 1961 atas usaha putranya Ahmad MH Haikal SH makalah - makalah tersebut diterbitkan dalam sebuah buku dalam judul ”al-Ambrathuriyah al-Islamiyah wa al-Amakin al-Muqaddasah fi al-Syarg al-Ausath” ( imperium Islam dan tempat - tempat suci di timur tengah ). Buku tersebut pada tahun 1983, dibagi dua. Salah satu bagiannya berjudul al-Hukumah al-Islamiyah ( pemerintahan Islam ). Dari judul yang baru itulah pemikiran Haikal tentang negara Islam menjadi buku sendiri.
Selain al-Hukumah al-Islamiyah Haikal juga menulis karangan lain seperti Hayatu Muhammad (1935), Fi Mangzili al-Wahyi (1936), al-Syarik al-Jadid, al-Shiddiq Abu Bakar (1945), al-Faruq Umar bagisn I (1944), bagian II (1945), dan juga menulis tentang Usman bin Affan yang diterbitkan setelah Haikal meninggal.
Selain menulis buku Muhammad Husein Haikal juga pernah menjadi pemimpin redaksi harian “Siyasah” Ia termasuk tokoh westernisasi yg menonjol. Ia dikenal sebagai seorang yg mengingkari peristiwa Isra’ dan Mi’raj baik dengan ruh ataupun dengan jasad. Pengingkarannya itu bertolak dari pandangan rasionalistik. Tetapi kemudian dia dinilai berubah sikap menjadi sangat moderat. Dalam kata pengantar buku “Fi Manzili al-Wahyi” ia mengungkapkan orientasi barunya di dalam pemikiran Islam.

D. Pemikiran Demokrasi Husein Haikal
Kebangkitan Islam dan demokratisasi didunia muslim berlangsung dalam konteks global yang dinamis. Diberbagai belahan dunia, orang – orang beramai – ramai menyerukan kebangkitan agama dan demokratisasi sehingga keduanya menjadi tema yang paling penting dalam persoalan dunia dewasa ini. Menguatnya identitas komunal dan tuntutan terhadap partisipasi politik rakyat muncul dalam lingkungan dunia yang begitu kompleks ketika teknologi semakin memperkuat hubungan global, sementara pada saat yang sama identitas lokal, nasional, dan budaya lokal masih sangat kuat.
Bagi kebanyakan orang barat, konsep “Demokrasi Islam” merupakan suatu anatema. Pendapat ini memustahilkan untuk memahami daya tarik dan kekuatan gerakan – gerakan Islam. Mengingat demokrasi merupakan konsep yang pada dasarnya masih diperdebatkan, penting dipahami bagaimana persepsi demokrasi dikalangan gerakan kebangkitan Islam belakangan ini. pemahaman ini penting bahkan yang memandang kebangkitan Islam sebagai ancaman, sebab kelompok ini perlu juga memahami keragaman definisi tentang demokrasi.
Syafi’i Maarif mengawali tinjauannya dengan mengemukakan tesis bahwa pada dasarnya syura merupakan gagasan utama dalam al-Qur’an. Jika konsep syura itu ditransformasikan dalam kehidupan moderen sekarang ini, maka menurut Syafii sistem politik demokrasi adalah lebih dekat dengan cita – cita politik Qur’ani, sekalipun ia tidak identik dengan praktek demokrasi barat. Tesisnya ini terutama didasarkan pada pandangan dua tokoh yang sangat dikaguminya, yakni filasuf pujangga Mohammad Iqbal dan gurunya di universitas chicago Fazlur Rahman.
Menurut Haikal, di dalam Al-Qur’an dan sunnah tidak terdapat prinsip - prinsip dasar kehidupan yang langsung berhubungan dengan ketatanegaraan. Menurutnya kehidupan bernegara bagi umat Islam itu baru dimulai pada waktu nabi berhijrah dan menetap di Madinah. Ayat tentang musyawarah misalnya tidaklah diturunkan dalam kaitan sistem pemerintahan. Banyak orang menampilkan topik ini dan mereka cenderung berpegang pada sebagian ayat al-Qur’an, seperti (QS; ali imaran:159) “dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu”. (QS; Asy syura:38) “sedangkan urusan mereka dimusyawarahkan diantara mereka” hanya dua ayat tersebut diatas yang mereka pegang untuk memperkuat pendapatnya.
Didalam Al-Qur’an juga tidak secara tegas dan langsung menyebutkan sistem pemerintahan tertentu. Karenanya, tidak aneh bila empat khalifah periode awal Islam ( Khulafa Rasyidun ) memang di bai’at masyarakat di mesjid, tetapi mereka diangkat tidak selalu melalui pemilihan. Kalau kita tengok kembali persitiwa pembaiatan Abu Bakar, Umar, Usman, kita akan menemukan secara jelas maknanya yang hakiki: orang – orang berkumpul, lalu memilih seorang kholifah, dan berikutnya mereka datang bersama – sama membai’atnya. Taksatupun diantara kholifah yang memiliki kekuasaan legislatif, sebab kekuasaan legislatif hanya diberikan kepada para Qadli (hakim), dengan demikian para kholifah hanya memiliki kekuasaan eksekutif, sebagaimana dalam sistem demokrasi. Nabi sendiri bahkan membiarkan sistem pemerintahan Arab asalkan menerima baik agama yang dibawanya.
Kalau kita hendak mengetahui sistem pemerintahan Islam, kita harus kembali kepada prinsip – prinsip utama yang telah ditetapkan dan yang dijadikan sebagai landasan kehidupan manusia. Manakala kita sudah mengetahui dan mencamkan prinsip – prinsip tersebut, tidak ada lagi keraguan bahwa sesungguhnya Islam dan demokrasi sinkron dalam semua hal yang esensial. Setiap sistem yang tidak berdiri diatas prinsip – prinsip demokrasi adalah tidak sesuai dengan kaidah – kaidah utama yang ditetapkan dan diserukan oleh Islam.
Namun demikian, sejauh yang bisa kita baca dari sumber - sumber Islam, paling tidak ada 3 prinsip dasar peradaban manusia termasuk politik. Pertama, prinsip monotheisme murni. Kedua, prinsip sunnah ( hukum ) Allah yang tidak pernah berubah, dan ketiga, persamaan antar manusia sebagai konsekuensi prinsip pertama dan kedua. Realisasi prinsip - prinsip itu diwarnai oleh semangat persaudaraan, persamaan, kebebasan, cinta kasih, rasa keadilan, dan juga taqwa.
Oleh karena itu, sebaiknya kita kembali pada prinsip – prinsip umum Islam. Dengan demikian kita tahu makna sejati dari ayat – ayat al-Qur’an. Dan dengannya juga menjadi jelas bahwa sesungguhnya sistem pemerintahan yang berdasarkan permusyawaratan model Islam harus dapat mewujudkan kebebasan persaudaraan dan persamaan bagi manusia sebanding atau bahkan melebihi dari yang dapat diberikan oleh sistem - sistem demokrasi dalam pengertian sekarang.
Husain Haikal berpendapat bahwa meskipun Islam tidak memberikan preferensinya pada suatu sistem politik tertentu, tetapi Islam telah meletakkan seperangkat prinsip atau tata nilai etika dan moral politik. Seperangkat tata nilai tersebut berfungsi untuk digunakan sebagai anutan umat Islam dalam membina kehidupan bernegara.
Prinsip – prinsip politik tersebut menurut Haikal adalah; 1) Tauhid, yang dengannya berkembang prinsip – prinsip dasar persamaan, persaudaraan dan kebebasan (equality, solidarity, and liberty). Dengan demikian kekuasaan negara tidak muqadas. 2) penyelenggaraan negara melalui Syura, suatu badan atau lembaga yang mengangkat kepala negara dan kebijaksanaannya agar sesuai dengan persetujuan rakyat. 3) rakyat dapat mengawasi jalannya pemerintahan. 4) Kepala negara bertanggung jawab kepada rakyat.
Untuk mencapai keadaan tersebut, Haikal memberikan kebebasan kepada umat Islam untuk memilih sistem manapun, asal prinsip – prinsip tersebut dijamin dapat terpenuhi. Hal senada juga pernah dilakukan nabi pada bangsa Arab yaitu nabi membiarkan sistem pemerintahan yang ada asalkan menerima baik agama yang dibawanya.

E. Kesimpulan
Setelah melihat uraian yang telah penulis paparkan diatas bahwasannya konsep demokrasi yang selama ini dianggap sebagai konsep negara yang bersumber dari barat dan itu berseberangan dengan konsep Islam tidaklah benar, sebagaimana yang telah dilakukan pada masa khulafa’ ar-rasyidun yang mana dalam pengangkatannya atas dasa pembaiatan rakyat dan bahkan dengan jelas dalam pidatonya Abu Bakar stelah dibaiat beliau menyatakan apabila beliau berada dalam syari’ah maka rakyat hendaklah mengikutinya dan apabila menyeleweng dari syari’at Islam maka rakyat berkewajiban untuk mengingatkannya, dan hal seperti itu mirip dengan konsep demokrasi yang selama ini dianggap bersumber dari barat.


Daftar Pustaka

A. Syafii maarif, Islam, Politik dan demokrasi di Indonesia, dalam Bosco carvallo dan dasrizal hlm.47-55.
Huwaydi, Fahmi. Demokrasi Oposisi, dan Masyarakat Madani. Bandung: Mizan, 1996.
http://blog.re.or.id/westernisasi.htm
http://www.wawasandigital.com/index.php?option=com_content&task=view&id=12007&Itemid=62
John L. Esposito dan John O. Voll, Demokrasi di Negara – Negara Muslim. Bandung: mizan, 1999.
Muhammad Husein Haikal, Al-hukumatul Islamiyah. Terj, Pemerintahan Islam, jakarta: Pustaka firdaus, 1993
Muchotob Hamzah, Menjadi politisi Islam (fiqih Politik), (yogyakarta; gama media,2004).hlm.50-51.
Sjadzali, Munawir. Islam dan Tata Negara: Sejarah dan Pemikiran. Jakarta: UI-Pres, 1993.

No comments:

Post a Comment