Mengintip Dunia PSK
Rasa empati, ya rasa empati terhadap sesama. tentu sangat perlu rasa empati ini dimiliki oleh semua orang, dengan rasa itu kita dapat memahami situasi maupun kondisi yang melingkupi kehidupan orang lain baik mereka seagama maupun bukan, sesama suku maupun tidak, Ras, Etnis maupun berbeda budaya. Semisal ketika kita menyimak sekelumit kisah dari para penjaja seks, jika belum mengenal mereka lebih dekat mungkin akan berfikir alasan menjadi penjaja seks sangat klise, yaitu kemiskinan.
Sementara hidup mereka lebih kompleks dari sekedar kemiskinan. Jika kita tidak memiliki rasa empati terhadap sesama tentu akan sulit memahami kondisi para penjaja seks tersebut dan menerima keadaan mereka. Sudah banyak kalangan yang melakukan penelitian terhadap mereka para penjaja seks akan tetapi suara para penjaja seks tidak pernah didengar dan dihiraukan, seakan dibisukan dan terbungkam. Mereka selalu diposisikan sebagai korban atau pelaku kejahatan tergantung dari kacamata siapa memandang mereka, bagi para aktifis perempuan yang mempunyai rasa empati akan menganggap mereka sebagai korban dari setruktur dan sistem ekonomi maupun politik. Sementara para aparat hukum dan ketertiban menyebut mereka sebagai PEKAT (penyakit masyarakat) yang harus di berantas, ditangkap dan ditahan. Justru kini upaya pengkriminalisasian penjaja seks bukan hanya dilakukan oleh aparat dilapangan, namun semakin dipertegas oleh banyaknya peraturan – peraturan negara dan peraturan daerah yang semakin memojokkan dan berusaha memarjinalkan para penjaja seks.
Mangapa negara dan masyarakat justru mempermasalahkan penjaja seks, kenapa tidak mempermasalahkan germo atau mucikari dan laki – laki hidung belang yang sungguh – sungguh mempraktikkan kapitalisme serta penindasan dengan dengan memanfaatkan tubuh orang lain. Hal inilah yang harus lebih diperhatikan oleh pemerintah jika hendak mengentaskan pelacuran. Bukan malah menyudutkan perempuan penjaja seks sebagai pelaku kejahatan, sekali nlagi mereka hanyalah berusaha dan berjuang untuk mempertahankan hidup dan berusaha membuat hidup agar lebih baik dimasa depan. Tidak ada lapangan kerja formal yang tersedia, apalagi dengan ijazah tamatan SD atau ibu – ibu paruh baya kalaupun ada kerja hasilnya tidak mencukupi biaya hidup yang tinggi seperti dikota – kota besar.
Menurut Hudiono (1999:49) dalam jurnal perempuan edisi 11, pada dasarnya pelacuran merupakan proses panjang penindasan dan disempowerment kaum perempuan yang tidak cukup dipersiapkan oleh budaya dan nilai-nilai yang mengitarinya untuk mandiri. Umumnya akar permasalahan yang mendorong terjadinya pelacuran adalah karena kemiskinan dan kebodohan, lapangan kerja dan ketrampilan yang kurang, serta urbanisasi yang dianggap jalan keluar bagi daerah pedesaan yang tidak bisa diandalkan untuk memperoleh nafkah. Sementara tuntutan hidup semakin tinggi seperti biaya sekolah anak-anak .
Selama ini apa yang sebenarnya diharapkan oleh para penjaja seks tersebut tidak pernah disuarakan, sebenarnya keinginan mereka sederhana saja yaitu aman bekerja jauh dari razia, tidak dilecehkan secara seksual, lalu berhenti menjadi PSK. Yang pada akhirnya menikah dan membina keluarga dalam kondisi ekonomi yang berkecukupan. Mereka bekerja keras saat ini agar masa depan lebih baik tanpa mengganggu orang lain tanpa merampas hak orang lain. Tentunya ada pihak – pihak yang tidak bisa menerima apapun alasan yang dikemukakan oleh para PSK tersebut. Karena menurut pandangan umum, melacur adalah perbuatan amoral dan berdosa. Namun jika kita mau bercermin dan melihat diri sendiri, siapalah kita yang mempertanyakan moralitas orang lain, siapalah kit yang menghakimi perbuatan orang lain sebagai wujud dari dosa. Terkadang manusia tidak dapat melihat kesalahan sendiri dan terus mengorek-ngorek kesalahan orang lain. Inilah saatnya kita untuk mengembangkan sikap empati dan merenungkan, seandainya kita yang menempati posisi mereka, apa yang akan kita lakukan? Mampukah kita bertahan ditengah ganasnya kehidupan atau justru terpuruk dalam keputus asaan. Namun jika penulis boleh menyarankan, ubahlah sudut pandang dalam melihat para penjaja seks. Lihatlah mereka sebagai bentuk dari setrategi bertahan hidup, juga sebagai sosok yang mandiri, berdaya dan bertahan hidup.
No comments:
Post a Comment