10 Feb 2011

diskursus syari'ah Islam

DISKURSUS SYARI’AH ISLAM DI INDONESIA


A. PENDAHULUAN
Dalam pandangan hukum Tuhan, Islam berusaha untuk mengintegrasikan ruang lingkup kehidupan kaisar, yaitu kehidupan politik, sosial dan ekonomi kedalam pandangan dunia religius, yang mencakup segala hal. Karenanya hukum didalam Islam adalah aspek integral dari petunjuk tuhan, dan bukan suatu unsur yang terpisah.
Bagi Islam syari’ah adalah cara untuk mengintegrasikan umat manusia. Ia adalah cara dengan mana manusia memberikan arti religius bagi kehidupan sehari – hari dan mengintegrasikan kehidupan ini kedalam suatu pusat spiritual. Manusia hidup dalam keanekaragaman, ia hidup dan bertindak menurut berbagai kecenderungan dalam dirinya, beberapa diantaranya berasal dari keinginan hewani, beberapa lagi berasal dari aspek sentimental, rasional bahkan spiritual dalam dirinya. Manusia menghadapi keaneka ragaman dalam dirinya dan pada saat yang sama ia hidup dalam masyarakat dimana ia menjadi bagian dan melakukan kontak serta hubungan yang tidak terbatas dengan anggota masyarakat lain. Kegiatan ini yang menjadi norma tindakan dan eksistensi dalam kondisi manusia tidak dapat diintegrasikan dan tidak mempunyai makna kecuali dalam syari’ah. Hukum tuhan adalah jaringan aturan dan sikap yang mengatur kehidupan manusia dan didalam totalitas serta sifatnya yang mencakup segala hal, mampu mengintegrasikan manusia dan masyarakat menurut prinsip yang dominan dalam Islam, yaitu unitas atau tauhid, syari’ah adalah cara dengan mana unitas dapat diciptakan dalam kehidupan manusia.
Penerapan syari’ah Islam pada faktanya bukanlah masalah sederhana, didalamnya terdapat percaturan yang hingga kini belum terpecahkan. Dikalangan ulama sendiri misalnya, masih terjadi perdebatan mengenai apa yang dimaksud dengan syari’ah dan bagaimana bentuk kongkrit rumusan syari’ah itu. seperti halnya yang terjadi di Indonesia sering kita dapati antar golongan saling tuding dan klaim kebenaran atas golongannya sendiri, sehingga syari’ah Islam bukan menjadi jalan tengah untuk menyatukan umat akan tetapi karena perbedaan dalam penafsiran terhadap sumber pokok ajaran menimbulkan perpecahan dan konflik. Akan tetapi dengan mengenyampingkan berbagai keruwetan diseputar definisi dan rumusan syari’ah, masalah yang muncul adalah akankah asumsi tentang penegakan syari’ah secara struktural itu benar atau sebaliknya? untuk itu disini penulis akan mencoba mencermati dan memaparkan tentang diskursus syari’ah Islam yang terjadi di Indonesia.

B. KONFLIK DALAM AGAMA
Apa yang dimaksud syari’ah Islam banyak kita jumpai dalam sumber – sumber rujukan Islam, akan tetapi definisi yang sering kita temukan tidak selalu sama dengan apa yang terdapat dalam sumber utama Islam. Dalam tradisi kesarjanaan muslim, hukum Islam dipandang bermula dengan pewahyuan al-Qur’an dan sunnah Nabi. Oleh karena itu sumber materil syari’ah adalah al-Qur’an dan sunnah nabi. Intruksi – intruksi spesifik dari dua sumber tersebut kemudian diperluas dan dikodifikasikan kedalam fiqih oleh para yuris dengan menggunakan peralatan – peralatan interpretatif atau sumber – sumber prosedural syari’ah seperti Qiyas, ijma’ maupun maslahah dan sebagainya.
Dari interpretatif tersebut akhirnya muncul sekelompok orang yang mendefinisikan syari’ah Islam pada aspek – aspek ibadah saja. Sebagai hukum Tuhan, syari’ah menepati posisi paling penting dalam masyarakat Islam. Sebagian umat Islam lainnya meyakini syari’ah mencakup seluruh aspek kehidupan manusia, baik secara indifidual maupun kolektif. Pada umumnya yang dianggap syari’ah Islam ialah dimensi ritual saja dari ajaran Islam.
Khaled Abou El Fadl, guru besar hukum Islam di UCLA School of Law, Amerika Serikat, dalam salah satu karyanya yang menawan, ATAS NAMA TUHAN: Dari Fikih Otoriter ke Fikih Otoritatif (terjemahan dari Speaking in God's Name: Islamic Law, Authority, and Women [Serambi 2004]), menegaskan bahwa Syariah bukan semata perintah - perintah positif ( ahkam ), tetapi juga terdiri atas tujuan ( maqashid ), prinsip ( qawa’id), dan metodologi analisis dan pemahaman ( ushul fiqh ). Artinya, hukum Tuhan disisi yang lain adalah juga sebuah epistemologi dan metodologi. Namun demikian, Abou El Fadl menengarai bahwa sekarang ini orang - orang banyak mengidentikkan hukum Tuhan dengan ketentuan - ketentuan positif ( ahkam ) sehingga etos hukum Tuhan itu menjadi terancam.
Seperti halnya syari’ah menurut Abou El Fadl ada beberapa kelompok atau organisasi yang sering membicarakan tentang kembali kepada sunnah Rosulullah dan tinggalkan bid’ah dalam rangka penegakan syari’ah, ternyata ia hanya mengutak – atik ibadah mahdhah saja. Yang termasuk sunnah rosulullah yang dibicarakan hanya thaharah, sholat, puasa, haji, mengurus jenazah, dan berdo’a, akan tetapi tidak meliputi sistem politik, ekonomi, serta sistem sosial seperti yang dicontohkan nabi. Mereka ribut tentang bid’ah dalam qunut subuh akan tetapi melakukan bid’ah dalam urusan mu’amalah seperti halnya memutus silaturrahmi dengan sesama muslim. Mereka menghabiskan waktu bertahun – tahun untuk membahas sunnah dan bid’ah saja.
Disaat yang bersamaan sebaliknya, kelompok lain memasukkan tradisi – tradisi lain, komponen – komponen kultural tertentu, upacara – upacara pribumi kedalam syari’ah Islam, dan mengeluarkan banyak hal dari dalamnya semisal sosio-politik dan sebagainya. Ketimpangan ini menimbulkan beberapa hal yang menggelikan. Dimana umat Islam lebih cenderung pecah karena perbedaan cara ibadah dari pada karena perbedaan perspektif sosial.
Perbedaan ibadah ini bahkan kemudian disosialkan dan diidiologikan. Fiqih mazhab misalnya dijadikan trademark golongan. Partai Islam juga dibentuk berdasar perbedaan fiqih, dan bukan perbedaan program pembangunan. Dibeberapa kampung dibuat masjid berdampingan dengan masjid lama hanya karena perbedaan adzan jum’at. Akibatnya seperti apa yang dikatakan oleh syaikh al-Ghazali dan sayyid Qutub yaitu kita hanya bertengkar dalam urusan ibadah sementara satu demi satu bidang kehidupan diambil oleh musuh – musuh Islam, sedangkan syari’ah yang diturunkan dan diajarkan oleh Rosullah kepada umatnya tidak hanya berkaitan dengan ibadah mahdhah saja sebagaimana tergambarkan dalam kehidupan nabi dalam urusan muamalah.


C. ISU PENERAPAN SYARI’AH ISLAM DI INDONESIA
Orang – orang yang berlainan agama dengan Islam dan juga orang – orang ateis telah melemparkan tuduhan terhadap agama Islam, mereka menuntut dan menantang kaum muslimin agar memunculkan sisi universalitas ajaran Islam disegala dimensi kehidupan, termasuk konsep ekonomi dan konsep politiknya. Sebab menurut asumsi mereka, dunia saat ini telah berkembang pesat dan memasuki abad XXI M. Disetiap kesempatan mereka selalu mendengungkan slogan - slogan kesesata mereka, seperti “tidak ada kaitan antara agama dengan urusan politik, dan tidak ada kaitannya politik dalam urusan agama”. “agama bagi Allah, dan negara untuk semua”. Serta slogan “agama hanyalah hubungan antara indifidu dengan Tuhannya”, artinya jika manusia memang dituntut harus tetap beragama, maka keberagamaan itu hanya sebatas didalam ruang lingkup masjid (urusan dengan tuhannya). Mereka berusaha secara maksimal untuk mengekang syiar – syiar agama, dan bagi mereka harus ada idiologi yang menggantikan agama Allah. Oleh sebab itu, mereka selalu mengkampanyekan demokrasi, yang prinsip dasarnya adalah kekuasaan berada ditangan rakyat dan untuk rakyat.
Bila kita menengok pada sejarah awal – awal Islam yaitu pada masa pemilihan khalifah ( Khulafa Rasyidun ) memang mereka di bai’at masyarakat di mesjid, tetapi mereka diangkat tidak selalu melalui pemilihan. Kalau kita tengok kembali peristiwa pembaiatan Abu Bakar, Umar, Usman, kita akan menemukan secara jelas maknanya yang hakiki: orang – orang berkumpul, lalu memilih seorang kholifah, dan berikutnya mereka datang bersama – sama membai’atnya. Tak satupun diantara kholifah yang memiliki kekuasaan legislatif, sebab kekuasaan legislatif hanya diberikan kepada para Qadli (hakim), dengan demikian para kholifah hanya memiliki kekuasaan eksekutif, sebagaimana dalam sistem demokrasi.
Kalau kita hendak mengetahui sistem pemerintahan Islam, kita harus kembali kepada prinsip – prinsip utama yang telah ditetapkan dan yang dijadikan sebagai landasan kehidupan manusia. Manakala kita sudah mengetahui dan mencamkan prinsip – prinsip tersebut, tidak ada lagi keraguan bahwa sesungguhnya Islam dan demokrasi sinkron dalam semua hal yang esensial. Setiap sistem yang tidak berdiri diatas prinsip – prinsip demokrasi adalah tidak sesuai dengan kaidah – kaidah utama yang ditetapkan dan diserukan oleh Islam. Dengan demikian sebenarnya slogan – slogan yang dikeluarkan kelompok – kelompok non muslim yang tidak setuju dengan penerapan syari’ah dalam negara bisa dikatakan tidak benar dan terbantahkan hal itu dapat kita lihat dalam pendapat husein haikal diatas.
Sekalipun yang lebih penting sebenarnya bagaimana menjadikan syari’ah Islam itu mensejahterakan masyarakat banyak, bukan membuat sengsara, mengekang dan menimbulkan sifat - sifat munafik. Oleh sebab itu, sebelum memberlakukan Syari’ah Islam di negeri ini, ada baiknya dilakukan terlebih dahulu mencari dan merumuskan berdasarkan isi kandungan kitab suci dan Hadits Nabi yang memang benar - benar memiliki visi kemanusiaan, bukan sebaliknya, Syari’ah Islam terkesan “menjerat manusia”, bahkan yang membuat jeratan adalah sesama manusia sendiri.
Visi kemanusiaan inilah yang lebih penting ketimbang formalisasi syari’ah, namun nihil dalam kemanusiaan. Formalisasi syari’ah dikhawatirkan menyebabkan syari’ah Islam tidak lagi mencerminkan kesatuan sosial, pembelaan terhadap kaum dhu’afa, bahkan syari’ah Islam ibarat pemburu berdarah dingin sehingga orang beragama harus kucing – kucingan dengan sesama orang Islam itu sendiri, yang pada akhirnya hukum yang berkaitan dengan dosa dan pahala, boleh tidaknya masuk surga berada ditangan kuasa hukum manusia, tidak lagi ditangan tuhan.
Dari adanya gerakan – gerakan yang menuntut pemberlakuan syari’ah Islam di Indonesia memperlihatkan adanya asumsi bahwa reformasi terhadap masyarakat Islam atau Islamisasi dapat berlangsung dengan hukum, institusi, dan instrumen negara. Demikian penerapan syari’ah Islam dipandang sebagai obat mujarab untuk mengatasi segala macam problem yang dihadapi daerah – daerah seperti kriminalitas, prostitusi ataupun permasalahan yang dihadapi bangsa indonesia.
Tetapi, sebagaimana yang telah terjadi di Indonesia dalam arena politik pada masa Majelis Konstituante dan era reformasi dimana isu penerapan syari’ah yang digulirkan dan mulai diundangkan dalam peraturan daerah memicu banyak kontroversi. Selain pemerintah sendiri, NU, muhamadiyah, dan berbagai lembaga swadaya masyrakat (LSM) melakukan penentangan keras terhadap isu pemberlakuan syari’ah tersebut.
Salah satu LSM yang paling sistematis melakukan counter wacana terhadap isu penerapan syari’ah Islam di Indonesia adalah Jaringan Islam Liberal (JIL). Kelompok ini mewacanakan penafsiran yang liberal atas Islam dengan wawasan – wawasan:
• Keterbukaan pintu ijtihad pada semua bidang.
• Penekanan pada semangat religio etik, bukan pada makna literal sebuah teks.
• Kebenaran yang relatif, terbuka dan plural.
• Pemihakan pada yang minoritas dan tertindas.
• Kebebasan beragama dan berkepercayaan.
• Pemisahan otoritas duniawi dan ukhrawi, otoritas keagamaan dan politik.

D. KESIMPULAN
Isu tentang formalisasi hukum Islam dalam wilayah kehidupan bernegara semakin menenggelamkan diskursus tentang etos dan moralitas Syariah. Perbincangan dikerahkan habis-habisan hanya untuk menimbang keuntungan dan kerugian dari langkah formalisasi tersebut. Situasi ini diperkental dengan perang jargon di berbagai media yang terkadang tiba pada level klaim yang mengeras dan sulit dicairkan dengan pikiran jernih. Yang mengenaskan, di bagian akhir perdebatan, muncul stigma buruk kepada mereka yang menolak formalisasi tersebut.
Menurut penulis perlu difahami bahwa syariah adalah sebagai sebuah metodologi yang membutuhkan perangkat dasar nalar (‘aql ) yang jernih dan berlandaskan ketulusan, intuisi ( fithrah ) yang peka membaca karakter dasar manusia, eksplorasi tentang kategori baik dan buruk ( husn dan qubh ), dan mungkin juga keterbukaan terhadap khazanah keilmuan yang lain untuk dapat terus menghidupkan dimensi moral yang termuat di dalam suatu aturan hukum. Ditambah dengan perangkat dan bahan - bahan dasar yang lain, seperti khazanah ulama Islam klasik yang begitu canggih dan melimpah, semua itu dipadukan dalam pandangan nilai - nilai Syariah yang bersifat mendasar. Tapi tentu ini harus dilakukan dengan tetap menjaga integritas teks - teks primer yang validitas dan otoritasnya diakui.
Sehingga pada saatnyalah diskusi tentang Syariah digeser ke level yang lebih luas dan mendalam, menuju suatu titik perbincangan yaitu menempatkan Syariah sebagai sebuah metodologi untuk menjalani kehidupan yang penuh perenungan demi mencari hukum Tuhan serta sebagai proses pembuktian dan penyeimbangan nilai - nilai pokok Syariah dalam mencapai sebuah kehidupan yang bermoral. Sikap dasar yang diperlukan adalah keterbukaan, kesungguhan, dan ketulusan hati, untuk memulai perbincangan tentang hal tersebut tanpa klaim - klaim yang menyudutkan dan bersifat apriori. Dengan landasan sikap dan sejumlah perangkat tersebut di atas, formalisme dan positivisme dapat ditelanjangi dan dilucuti pembenarannya, sehingga sikap keberagamaan kita semakin bening, tulus dan fitri.
Yang pada akhirnya Syari’ah Islam tidak hanya dibentuk oleh apa yang disebutkan oleh al-Qur’an dan sunnah, dan apa yang telah ditetapkan konsensus dan ijtihad sahabat, namun ia juga mencakup apa yang ditetapkan oleh para ahli fiqih yang berijtihad sepanjang masa, dan juga apa yang ditetapkan oleh ahli fiqih yang berijtihad dimasa – masa yang akan datang. Karena itu tak ada artinya mengatakan bahwa syari’ah Islam telah diterapkan secara sempurna dimasa ini atau masa lalu.
Karena syari’ah Islam disebabkan ia merupakan syari’ah untuk semua masa dan periode, maka para mujtahid berkewajiban untuk menemukan solusi berdasarkan syari’ah atas semua perkembangan baru dimasa depan. Sehingga lebih tepat bila dikatakan syari’ah terus menerus menyempurnakan diri (innaha taktamilu bistimrar) atau “bahwa perkara ini memang seharusnya demikian”. Wa Allâh a’lam bi al-shawâb.









Daftar Pustaka

M. Amin Rais, Islam di Indonesia; Suatu Ikhtiar Mengaca Diri, Jakarta: Raja Grafindo Persada,1996.
Said Abdul Azhim, Ibnu Taimiyah: Pembaruan Salafi dan Dakwah Reformasi, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2005.
Muhammad Husein Haikal, Al-hukumatul Islamiyah. Terj, Pemerintahan Islam, jakarta: Pustaka firdaus, 1993.
Muhammad Abid al-Jabiri, Agama, Negara Dan Penerapan Syari’ah, Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2001.
Sayyed Hosein Nasr, Ideals And Realities Of Islam, terj Abdurrahman Wahid dan Hasyim wahid, Islam Antara Cita dan Fakta, Yogyakarta: PUSAKA, 2001.
Taufiq Adnan Amal dan Samsul Rizal Panggabean, Politik Syari’ah Islam; Dari Indonesia Hingga Nigeria, Jakarta: Pustaka Alvabet, 2004.
Zuly Qodir, Syariah Demokratik: Pemberlakuan Syari’ah Islam di Indonesia, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004

No comments:

Post a Comment