10 Feb 2011

hermeneutik setudi Islam

HERMENEUTIK SETUDI ISLAM
Atas nama tuhan Dari fiqih otoriter ke fiqih otoritatif
Karya; Khaled M. Abou El-Fadl
Oleh; Muhammad Al Faruq

A. PENDAHULUAN
Kajian penelitian khaled ini bermula dari esai pendek yang mengkritisi sebuah fatwa hukum misoginis yang dikeluarkan oleh sebuah organisasi islam di Amerika. Pada saat itu, yang menjadi pikiran adalah kenyataan bahwa fatwa tersebut menyatakan ketentuan yang merendahkan dan menghina perempuan sebagai kehendak tuhan yang tidak boleh digugat dan diperdebatkan. Keterlibatan peneliti dalam tradisi hukum Islam klasik memungkinkan untuk dapat mengidentifikasi betapa banyak bukti – bukti yang diabaikan dan dilangkahi oleh organisasi tersebut.
Sekalipun begitu, tampak begitu banyak orang – orang Islam di Amerika yang bersedia menerima fatwa tersebut sebagai satu – satunya kehendak Tuhan. Semakin peneliti mengkaji dan memikirkan dinamika hukum Islam di Amerika, semakin peneliti terganggu dengan kedangkalan, kecerobohan, dan bahkan ketidak jujuran dalam diskursus ini. Didalamnya peneliti tidak menemukan adanya kepaduan metode, pendekatan yang berlandaskan prinsip moral, dan yurisprudensi.
Diskursus hukum Islam di Amerika diramaikan oleh pertarungan antara pelempar hadits masing – masing pihak menganalisis hadits Nabi untuk menemukan sesuatu yang dapat dimuntahkan kearah lawan. Sangat sedikit sarjana yang mengaku pakar hukum Islam di Amerika yang tertarik untuk mengembangkan sebuah diskursus sitematis dan kritis tetang hukum Tuhan. Dan menurut peneliti hukum Islam tampaknya telah menjadi aktivitas pengisi waktu senggang orang – orang yang secara intelektual diragukan dan tidak memiliki emosi.
Persoalannya bukanlah sekedar kondisi pseudo-intelektual masyarakat Muslim Amerika, akan tetapi lebih luas dari itu. Yang menjadi persoalan adalah runtuhnya dan terbengkalainya premis – premis tradisional yang melandasi bangunan hukum Islam, tanpa adanya usaha untuk menggantinya dengan alternatif yang dapat dikembangkan. Kebanyakan sikap yang diambil berbagai kelompok pelempar hadits di Amerika mencerminkan dan bersandar pada diskursus beragam kelompok Muslim di Dunia Islam secara keseluruhan. jadi, misalnya sikap hukum beberapa organisasi Islam di Amerika memperlihatkan ketidak sukaan terhadap perempuan tidak lebih dari perpanjangan sikap organisasi Islam yang berpengaruh di beberapa Negara Muslim. Singkatnya, kelemahan metodologis secara umum sedang mewabah dalam diskursus hukum Islam kontemporer.

B. KEGELISAHAN AKADEMIK
Kegelisahan yang dialami peneliti ini berawal ketika peneliti melihat realitas hukum Islam yang terjadi pada masyarakat dimana sejumlah kalangan umat Islam bersikap otoriter dan merasa paling benar dalam menafsirkan teks suci al-Qur’an dan sunnah. Selain itu para pengkaji hukum Islam dalam penetapan – penetapannya tersebut sering kali terang – terangan berorientasi pada hasil, dan bahkan penetapan – penetapan tersebut sangat ceroboh dan tidak kritis dalam menangani bukti – bukti yang ada, dan yang lebih penting bahwa penetapan – penetapan tersebut tidak memasukkan pertimbangan moral atau tidak menempatkan pertimbangan moral pada posisi yang semestinya.

C. PENTINGNYA TOPIK PENELITIAN
Penelitian khaled abou el-fadl ini penting untuk melahirkan sebuah analisis kritis tentang anatomi praktik penafsiran hukum yang bersifat otoriter. Yang dalam hasil kajiannya khaled menyajikan sebuah kerangka konseptual untuk membangun gagasan tentang otoritas dan mengidentifikasi penyalah gunaan otoritas dalam hukum Islam.
Didalam penelitiannya ini khaled tidak merujuk pada otoritas kelembagaan, tapi lebih pada otoritas persuasif dan otoritas moral. Dengan demikian fokus utama dalam kajiannya ini adalah pada gagasan tentang pemegang otoritas dalam hukum Islam, yang dibedakan dengan otoritarianisme. Lebih luas lagi kajian khaled ini berusaha menggali gagasan tentang bagaimana seseorang mewakili suara tuhan tanpa menganggap dirinya sebagai Tuhan, atau setidaknya tanpa ingin dipandang sebagai Tuhan. Dalam artian khaled ingin mengembalikan ilmu yurisprudensi Islam sebagai sebuah epistemology dan sekaligus sebagai metode penelitian ( a methodology of inquiry ), bukan sebagai diskursus keilmuan Islam yang beraroma politis dan otoriter.
Dengan demikian melalui kajian khaled ini akan menghidupkan kembali dan mengembangkan lebih lanjut diskursus klasik tentang peran ‘aql (intellect), fitrah (intuition), atau husn dan qubh (the moral and immoral) yang dicetuskan oleh ulama – ulama Islam klasik dan dikembangkan lebih lanjut lewat pendekatan – pendekatan baru yang muncul belakangan.

D. HASIL PENELITIAN TERDAHULU
Sebelum khaled abou el-fadl melakukan penelitian ini ada juga penafsir hukum Islam yang hampir senada yaitu Ibn al-Qayyim al-jawziyyah ia menyatakan bahwa segala bentuk ketidak adilan yang mungkin terjadi akibat penerapan hukum Tuhan harus dipandang sebagai bentuk kesalahan penafsiran teks. Penafsiran yang jujur dan akurat tidak akan dan tidak seharusnya melahirkan ketidak adilan. Dari pendapat inilah yang mungkin digunakan peneliti untuk melihat realita fatwa – fatwa keagamaan yang terjadi di sebagian Negara muslim yang kebanyakan bersikap mendiskriminasikan kaum wanita.
Selain itu peneliti juga telah menelaah karya - karya sebelumnya mengenai konsep otoritatif dan otoriter, salah satunya Josept Vining. Josept vining menulis sebuah buku tentang perbedaan antara yang otoritatif dan yang otoriter. Dalam bukunya ia menyatakan bahwa meskipun ada kebutuhan untuk menganut sebuah keyakinan bersama terhadap sebuah sistem sebelum melakukan upaya interpretasi, yang otoriter adalah sebentuk taqlid buta, sementara yang otoritatif adalah melakukan pilihan terbaik berdasarkan rasio.
Robert Michels dalam karya klasiknya tentang demokrasi secara persuasif menyatakan bahwa semua sistem politik termasuk demokrasi berada dalam genggaman apa yang ia sebut sebagai hukum besi oligarki. Michels menegaskan bahwa sistem – sistem politik mengalami tekanan yang sangat kuat sentralisasi dan oligarki, dan bahwa tekanan – tekanan tersebut merupakan sebuah kecenderungan alamiah dalam semua organisasi manusia. Begitu pula halnya dalam sebuah proses interpretasi, ada sebuah kecenderungan yang pasti kearah otoritarianisme yang ditandai dengan munculnya penetapan yang bersifat tetap dan tidak berubah. Pemegang otoritas biasanya cenderung mengarah bersifat otoriter kecuali dengan ada upaya sadar dan aktif untuk membendung kecenderungan tersebut dari wakil yang melakukan interpretasi dan wakil yang menerima interpretasi tersebut.
R.B. friedman pernah memberikan pengertian untuk membedakan antara “memangku otoritas” (being in authority) dan “memegang otoritas” (being an authority) dan juga Hannah Arendt yang berpendapat tentang otoritas dan persuasi, yang mana dalam hal ini khaled mengutip dari keduanya untuk menjelaskan tentang konsep otoritas.
Dalam buku hasil penelitian khaled ini memfokuskan diri mengkaji sikap otoriter dalam studi hukum Islam. Khususnya bagaimana CRLO dalam melakkan pembacaan teks sehingga terjatuh dalam sikap otoriter dalam memberikan sebuah fatwa sehingga menimbulkan pembacaan teks yang subjektif dan selektif.
Dia mencontohkan fatwa syeykh Ibn Jibrin ketika ditanya apakah mengenakan bra diperbolehkan menurut hukum Islam? Ibn Jibrin menjawab bahwa beberapa perempuan membiasakan diri mengenakan pakaian tambahan untuk menciptakan kesan bahwa mereka masih muda atau perawan. Dan jika memang demikian motifnya maka hal tersebut dipandang sebagai bentuk penipuan yang dilarang. Namun jika seorang perempuan mengenakan bra tersebut untuk tujuan kesehatan dan pengobatan, maka hal itu diperbolehkan. Jelas sekali bahwa Ibn Jibrin tidak mengutip perintah tuhan yang sepesifik tentang bra atau jenis pakaian lainnya, ia juga tidak menyebutkan perintah tuhan tentang pakaian dalam yang membuat seseorang lebih seksi. Mungkin yang menjadi landasan argumentasi Ibn Jibrin adalah hadits Nabi yang berbunyi “siapapun yang berlaku curang bukanlah kelompok kami”, namun konteks riwayat hadits Nabi tersebut tidak ada kaitannya dengan bra. Akan tetapi konteks hadits tersebut mengenai pedagang yang berlaku curang dalam menjajakan barang dagangannya.

E. METODE PENELITIAN
Kajian hukum Islam oleh khaled abou el-fadl lewat perspektif hermeneutic ini tergolong baru. Kajian hermeneutic yang ia tawarkan bersifat inter dan multisipliner, lantaran melibatkan berbagai pendekatan linguistic, interpretive social sciencer, literary criticism, selain ilmu – ilmu keIslaman yang baku mulai dari mushthalah al-hadits, rijal al-hadits, fiqih, ushul fiqih, tafsir, kalam, yang kemudian dipadukan dengan humaniora kontemporer.
Pendekatan hermeneutic ini menekankan sebuah relativisme yang besar atas disiplin yang sangat miskin dengan relativisme yaitu hukum Islam. Peneliti menjelaskan bahwa otoritarianisme adalah sebuah metodologi hermeneutic yang merampas dan menundukkan mekanisme pencarian makna dari sebuah teks kedalam pembaca yang sangat subjektif dan selektif. Subjektifitas yang selektif dari hermeneutic otoriter ini melibatkan penyamaan antara maksud pengarang dan maksud pembaca dengan memandang maksud tekstual dan otoritas teks sebagai hal yang bersifat sekunder. Lebih jauh lagi dengan menganggap maksud tekstual menjadi tidak penting dan dengan menghapus otoritas teks khaled menjelaskan bahwa seorang pembaca yang subjektif pasti akan melakukan kesalahan penafsiran atau kecurangan dan melanggar syarat – syarat yang lain.
Khaled menggambarkan bagaimana proses seorang pembaca teks sehingga jatuh dalam sikap otoriter seperti ini; kalau pembaca bergelut dengan teks dan menarik sebuah hukum dari teks, resiko yang dihadapi adalah bahwa pembaca menyatu dengan teks, atau penetapan pembaca akan menjadi perwujudan eksklusif teks tersebut. Akibatnya, teks dan kontruksi pembaca akan menjadi satu dan serupa dalam proses ini, teks tunduk pada pembaca dan secara efektif pembaca menjadi pengganti teks. Jika seorang pembaca memilih sebuah cara baca tertentu atas teks dan mengklaim bahwa tidak ada lagi pembacaan lain. Teks tersebut larut kedalam karakter pembaca. Jika pembaca melampaui dan menyelewengkan teks bahaya yang akan dihadapi adalah pembaca akan menjadi tidak efektif, tidak tersentuh, dan otoriter.
Kecenderungan otoriter tersebut dapat dibendung dengan lima prasyarat, khaled mencontohkan kalau X dan Y merupakan wakil – wakil yang telah menerima perintah yang agak kompleks dari Tuannya yang memerintahkan agar mereka melaksanakan pekerjaan tertentu dan harus melaksanakannya dengan cara tertentu. Y akan memandang X memiliki otoritas untuk diikuti karena Y percaya kepada X, namun kepercayaan ini didasarkan pada sebuah asumsi rasional bahwa kelima prasyarat itu telah terpenuhi, adapun lima prasyarat tersebut adalah;
Pertama, kejujuran, prasyarat kejujuran mencakup harapan bahwa X tidak bersikap pura – pura memahami apa yang sebenarnya tidak ia ketahui dan bersikap terusterang sejauh mana ilmu dan kemampuannya dalam memahami perintah tuannya.
Kedua, kesungguhan, secara logis Y berasumsi bahwa X telah mengerahkan segenap upaya rasional dalam menemukan dan memahami perintah – perintah yang relevan berkaitan dengan sebuah atau serangkaian persoalan tertentu.
Ketiga, kemenyeluruhan, secara logis Y berasumsi bahwa X telah berusaha untuk menyelidiki perintah Tuannya secara menyeluruh dan berharap bahwa X telah mempertimbangkan semua perintah yang relevan. Membuat upaya terus menerus untuk menemukan semua perintah yang relevan dan tidak melepas tanggung jawabnya untuk menyelidiki atau menemukan alur pembuktian tertentu.
Keempat, rasionalitas, secara logis Y berasumsi bahwa X telah melakukan upaya penafsiran dan menganalisis perintah – perintah Tuannya secara rasional, tentu saja rasional itu dipandang sebagai sebah konsep yang abstrak, namun menurut khaled setidaknya ia berarti sesuatu yang dalam kondisi tertentu dipandang benar secara umum.
Kelima, pengendalian diri, secara logis Y menghendaki agar X menunjukkan tingkat kerendahan hati dan pengendalian diri yang layak dalam menjelaskan kehendak Tuannya, persyaratan ini dijelaskan dengan baik dalam ungkapan Islam “dan Tuhan tahu yang terbaik/ Tuhan lebih tahu (wa allahu a’lam)”

F. RUANG LINGKUP DAN ISTILAH KUNCI PENELITIAN
Pokok kajian dalam penelitian yang dilakukan Kholed M. Abou el-fadl ini menyangkut permasalahan hubungan antara pengarang (author), teks, dan pembaca (reader) yang kemudian menghasilkan sebuah penafsiran atau produk hukum dan fatwa – fatwa keagamaan, yang dikhususkan lagi yaitu mengenai fatwa CRLO yaitu lembaga resmi di Arab saudi yang diberikan kepercayaan untuk mengeluarkan fatwa.
sehingga untuk memahaminya diperlukan istilah kunci yaitu otoritas, dan otoriter (otoritarianisme), dalam konsep otoritas, khaled membedakan antara otoritas koersif dan otoritas persuasif. Otoritas koersif merupakan kemampuan untuk mengarahkan perilaku orang lain dengan cara membujuk, mengambil keuntungan, mengancam, atau menghukum, sehingga orang yang berakal sehat akan berkesimpulan bahwa untuk tujuan praktis mereka tidak punya pilihan lain kecuali harus menurutinya. Otoritas persuasif melibatkan kekuasaan yang bersifat normatif. Ia merupakan kemampuan untuk mengarahkan keyakinan atau perilaku seseorang atas dasar kepercayaan. Sedangkan istilah otoritarianisme adalah mekanisme pencarian makna dari sebuah teks kedalam pembacaan yang sangat subjektif dan selektif.

G. SISTEMATIKA PEMBAHASAN
Dari hasil penelitian khaled ini tidak menampilkan sebuah kajian antropologis atau sosiologis tentang praktik hukum Islam pada zaman moderen ini, Akan tetapi merupakan sebuah karya tentang teori hukum bukan kajian tentang antropologi atau sosiologi.
Dalam hasil penelitiannya khaled membagi kedalam tujuh bab dan ditambah dengan satu kesimpulan. Pada bab pertama, yang diberi judul “menyelami persoalan”, memaparkan tema sentral dan asumsi dasar dalam hasil penelitiannya tersebut. Peneliti tidak menamakan bab pertama sebagai pendahuluan karena bagian tersebut tidak dimaksudkan hanya sebagai catatan pengantar untuk bab – bab berikutnya. Yang jelas dari hasil penelitian tersebut tidak memberikan sebuah pendahuluan yang bersifat formal, tetapi berusaha mengajak atau menggugah pembaca untuk terlibat secara intelektual dan emosional dengan tema yang dikaji dalam penelitiannya tersebut. Hal ini dilakukan dengan jalan mengemukakan serangkaian persoalan, serta dengan saling berbagi asumsi dan dilema intelektual antara penulis (khaled) dan pembaca. Kebanyakan pembaca biasa tidak membaca bagian pendahuluan dan langsung membaca bab pertama tentu saja hal seperti ini dibenarkan. Akan tetapi dalam hasil penelitian ini bagian pertama merupakan bahasan yang penting untuk masuk pada keseluruhan kajiannya.
Pada bab kedua berusaha menggali gagasan tentang pemegang otoritas dalam hukum Islam dengan menganalisis gagasan tentang kekuasaan mutlak tuhan, peran ketaatan dalam pembentukan otoritas, dan fungsi para ahli hukum (fuqaha). Dan pada bab ketiga berfungsi sebagai sebuah peralihan singkat sebelum memasuki bab keempat dan kelima. Sedangkan pada bab keempat dan kelima ini agak bersifat abstrak dan terperinci, yaitu berisi kajian tentang peran teks dalam menentukan makna. Dalam konteks ini khaled mengajukan teori dan syarat – syarat keberwenangan para ahli hukum Islam, dan proses yang bisa dijadikan acuan bagi pembaca untuk melihat bahwa para ahli hukum telah menyalahgunakan otoritas mereka.
Pada bab kedua sampai bab kelima membangun dasar – dasar untuk melakukan analisis kritis tentang penyalah gunaan praktik hukum di dunia Islam moderen, yang mana menjadikan garapan bab keenam dan ketujuh. Kedua bab terakhir menyajikan setudi kasus seputar proses terbentuknya otoritarianisme dalam praktik hukum Islam didunia moderen. Kebanyakan setudi kasus itu berfokus pada fatwa tentang persoalan seputar perempuan karena fatwa – fatwa tersebut menggambarkan dengan jelas kesalahan pemakaian dan penyalah gunaan otoritas tuhan.

H. KONTRIBUSI DALAM ILMU – ILMU KEISLAMAN
Dari hasil penelitian dan kajian yang dilakukan khaled ini secara pasti tidak memberikan sebuah kontribusi baru terhadap produk hukum Islam itu sendiri, akan tetapi dari apa yang telah dikajinya memberikan sebuah sumbangan penjelasan mengenai pendekatan hermeneutic dalam studi hukum Islam, khususnya teori otoritarianisme sebagai metodologi hermeneutic yang menundukkan mekanisme pencarian makna dari sebuah teks kedalam pembacaan yang sangat subjektif dan selektif.
Dari situ khaled menekankan pentingnya mengembalikan etos intelektual, etos keilmuan yang pernah ada dalam sejarah umat islam ditengah – tengah ramai dan riuhnya klaim (pengakuan) banyak orang yang merasa paling tahu dan paling benar mengenai maksud Tuhan dan teks sampai – sampai mereka merasa sebagai satu – satunya orang yang mewakili Tuhan, mereka lupa bahwa setiap orang diberi mandat menjadi wakil Tuhan (kholifah) di muka bumi.
Selain itu dalam kajiannya khaled juga mengajukan lima prasyarat yang menjadi landasan pelimpahan otoritas terhadap wakil khusus (lembaga penetap fatwa) untuk menghindari sikap otoritarianisme yaitu; kejujuran, kesungguhan, kemenyeluruhan, rasionalitas, dan pengendalian diri.

No comments:

Post a Comment